REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Keluhan soal harga gas untuk industri yang masih tinggi diakui oleh Asosiasi Industri Petrokomia. Harga bahan baku industri petrokomia dalam hal ini adalah gas sebagai bahan bakar yang masih mahal membuat industri memutuskan untuk melakukan impor bahan baku.
Wakil Ketua Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik (Inaplas), Budi Susanto Sadiman menjelaskan setidaknya dari total 100 persen modal produksi industri petrokimia 30 persen diantaranya masih bergantung pada impor. Tiga puluh persen impor ini dialokasikan untuk mengimpor gas yang lebih murah daripada gas dalam negeri agar harga jual produk bisa lebih bersaing.
"Tarik menarik soal gas ini memang sangat seksi di industri petrokimia. Impor bahan baku sampai 30 persen," ujar Budi di Jakarta, Senin (23/10).
Budi menjelaskan industri petrokimia setidaknya membutuhkan 8,5 barel ekuivalen gas per hari untuk menjadi bahan bakar melumatkan plastik selama 4 jam. Sedangkan pasokan dalam negeri hanya bisa diserap oleh industri sebesar 2,5 barel ekuivalen gas per hari dengan harga diatas 6 dolar per mmbtu. Sisa dari kebutuhan gas tersebut terpaksa harus impor untuk bisa mendapatkan equilibrium dari ongkos produksi yang masuk keekonomian industri.
Di satu sisi, Budi tak menampik jika pemerintah sempat memberikan ide agar para industri petrokimia ini untuk bisa membangun industri di mulut tambang atau wellhead. Namun, jika masih memakai harga yang sama seperti saat ini sekitar 6 dolar per mmbtu maka hal tersebut tidak akan memberikan dampak efisiensi yang sama bagi industri.
"Kalau bahan baku kalau nggak 4 dolar AS, nggak kompetitif. Kita sih nggak minta, kalau mau bangun di wellhead, ya kita bisa tapi harus 4 dolar AS. Kalau lebih tinggi dari itu, nggak ada yang mau beli," ujar Budi.