REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Sepanjang 2016 dan 2017, sebanyak 791 ton dan 477 ton buah salak telah diekspor ke berbagai belahan dunia. Kali ini, giliran Selandia Baru yang akan mencicipi nikmatnya buah salak khas Kabupaten Sleman.
Selandia Baru jadi negara kesekian yang menjadi target pasar ekspor salak Indonesia. Sebelumnya, salak Indonesia sudah diekspor ke Cina, Australia, Belanda, Prancis, Malaysia, Thailand, Kamboja, Hong Kong, Singapura, Arab Saudi, UAE, Timur Leste dan Kuwait.
Setelah sejumlah upaya yang dilakukan, akhirnya salak dari Asosiasi Petani Salak Sleman Prima Sembada bisa dikirim ke Selandia Baru. Sebanyak 100 kilo salak menjadi ekspor pertama yang dikirimkan ke Selandia Baru. Pengiriman perdana dihadiri langsung Duta Besar Selandia Baru Trevor Matheson.
Dalam sambutannya, Trevor memberikan sanjungan kepada Indonesia, khususnya Sleman, yang telah bangkit setelah tertimpa bencana alam beberapa tahun lalu. Kini, ia merasa semua elemen telah bangkit, termasuk untuk ekspor yang ditandai pengiriman salak.
"Bapak Maryono, apa yang anda kerjakan fantastis," kata Trevor sambil menunjuk Kepala Asosiasi Petani Salak Sleman Prima Sembada, Maryono, yang disambut tepuk tangan sejumlah petani salah yang hadir di Kantor Kemas Prima Sembada," Senin (23/10).
Ia mengaku bangga, salak yang merupakan buah eksotis menurutnya dapat hadir di Selandia Baru, dan dapat dirasakan masyarakat luas di sana. Trevor pun berharap, kualitas salak yang ada selama ini dapat terus dijaga dan malah ditingkatkan untuk peningkatan nilai ekspor.
Trevor mengungkapkan, cukup banyak yang belum mengetahui rasa dari buah salak, sehingga kenikmatan yang diakui telah lama dirasakannya itu belum banyak dirasakan masyarakat Selandia Baru. Karenanya, ia menilai ekspor ini mengajarkan masyarakat Selandia Baru tentang buah-buah eksotis.
"Kita harus dukung dan kombinasikan semua daya yang ada, dan kita harus cari cara yang efisien agar komunikasi ekspor impor ini terus terjaga," ujar Trevor.
Kepala Asosiasi Petani Salak Sleman Prima Sembada, Maryono menuturkan, harga salak yang diekspor sendiri memang lebih tinggi dari harga yang ditawarkan pengepul setempat. Jika biasanya petani mendapatkan 4-5 ribu rupiah per kilo, kini mereka mendapat sampai tujuh ribu per kilo.
Untuk salak yang dieskpor memang berkualitas grade B dengan register standar, kecuali untuk yang organik karena akan dijula dengan harga khusus yang biasanya lebih tinggi. Sedangkan, tingkat kematangan salak yang dikirim sekitar 60-7- persen.
"Kita terus kembangkan, saat ini sedang coba kerjasama dengan BPTP Yogya, agar dapat diterapkan sistem pengawetan yang organik," kata Maryono.
Untuk ekspor sendiri, lanjut Maryono, salak Kabupaten Sleman memang telah memulai ekspornya sejak 2009, yang ditandai pengiriman ke Cina. Namun, sampai sejauh ini, transportasi memang masih jadi kendala karena harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Senada, Kepala Badan Karantina Pertanian Yogyakarta, Banun Harpini menilai, Indonesia memang perlu belajar ke Selandia Baru untuk menjaga kualitas barang-barang ekspornya. Hal itu dilakukan agar barang-barang yang berasal dari Indonesia masuk ke standar kesehatan impor.
Untuk itu, ia meminta petani-petani memiliki pemahaman kalau barang-barang mereka memang harus memenuhi standar tertentu untuk dapat diekspor ke luar negeri. Setidaknya, harus didului dengan diskusi otoritas yang akan menunjuk penanggungjawab sebagai penjamin kualitas.
"Tidak bisa sembarangan, kita harus penuhi persayrakat negara tujuan ekspor, bersyukur hari ini kita akan saksikan penandatanganan protokl Ekspor Health Standard," ujar Banun.
Meski begitu, ia berharap semua ini tidak selesai di penandatanganan, agar ekspor secara nyata dapat terus dilaksanakan secara berkelanjutan. Untuk itu, Balai Karantina Pertanian pun sudah menyediakan sistem daring, dan petani bisa mendaftarkannya barang-barang ekspornya secara lebih mudah.
Selain itu, sertifikasi petani pun dapat dilakukan melalui aplikasi, yang saat ini ada di websitnya. Artinya, petani yang akan mengekspor sudah bisa langsung mengirimkan barang masuk ke bandar udara, tanpa harus melalui lagi proses buka tutup pemeriksaaan fisik di Balai Karantina Pertanian.
"Jadi petugas kita yang jemput bola, dan dokumen akan dikirim secara daring ke Selandia Baru, biar penanganan di sana lebih cepat," kata Banun.
Selain penandatanganan protokol EHS, Duta Besar Selandia Baru sempat pula mencicipi panganan kreasi masyarakat Sleman yang berbahan dasar salak. Ia sempat pula mencicipi berbagai buah khas seperti Buah Naga, dan mengaku menyukai rasa buah-buah yang disebutnya eksotis tersebut.