REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- 1976 menjadi tahun yang tidak pernah bisa dilupakan musisi dan penulis lagu legendaris Cat Stevens. Pada suatu hari di tahun itu, pria kelahiran Inggris ini, nyaris kehilangan nyawanya.
Stevens saat itu sedang menikmati hari biasa berenang di laut dekat pantai Malibu, California. Merasa cukup, ia berniat kembali ke tepian. Namun, di tengah perjalanan, gelombang pasang mengadang. Ia mencoba sekuat tenaga, bergumul dengan arus, berusaha menerobosnya. Upayanya sia-sia.
Seketika, lemas pun mulai menjalar ke seluruh tubuh. Tak lagi berdaya, kehidupannya seperti tinggal menunggu berakhir tenggelam di dasar lautan. "Saya tidak memiliki tenaga tersisa," kata dia kepada majalah musik Rolling Stone, 2015 silam. "Hanya ada satu tempat meminta pertolongan, dan itu adalah Tuhan."
Stevens memang tidak pernah meragukan keberadaan Tuhan. Namun ia mengaku selalu jauh dari-Nya. "Saya tidak pernah meminta pertolongan padaNya karena semuanya selalu berjalan baik-baik saja sepanjang hidupku," ujar Stevens mengisahkan.
Namun kali ini ia ada di ambang hidup dan mati. Tak ada yang bisa dilakukan selain berpasrah dan berharap pertolongan terakhir. Stevens pun bernazar. Jika Tuhan menyelamatkannya, ia akan setia mematuhi segala perintahNya. Syahdan, keajaiban datang. Ombak yang hampir mengaramkan jiwanya, justru berbalik menyeretnya ke tepi pantai dan menyelamatkan hidupnya.
Setelah hari itu semuanya tak lagi sama. Apalagi, secara kebetulan, ia kemudian dipertemukan dengan Alquran. Kakaknya, David, tiba-tiba memberinya salinan mushaf untuk dipelajarinya. "Saya merasa seperti menemukan sesuatu rahasia besar dan luar biasa."
Pengembaraan spiritual
Stevens terlahir dengan nama Stephen Demetre Georgiou, 21 Juli 1948, di London sebagai non-Muslim (Nasrani). Orang tuanya, keturunan Yunani dan Swedia, berpisah saat ia berumur delapan tahun.
Georgiou muda tumbuh besar di lingkungan yang kental dengan budaya musik. Arah hidup mulai ditentukannya setelah mendengarkan rekaman milik Bob Dylan untuk pertama kalinya. Bakat bermusiknya berkembang.
Pada usia 18 tahun, Georgiou mulai mengisi panggung di salah satu warung kopi ternama di London. Di situ ia mulai menggunakan nama panggung Cat Stevens. Kariernya meroket pada 1970 ketika lagunya "Father and Son" dan "Wild World" menjadi hit di radio-radio. Stevens menjadi idola.
"Ketika aku berusia 18 tahun, aku telah menyelesaikan rekaman dalam delapan kaset. Setelah itu banyak sekali tawaran. Dan aku pun bisa mengumpulkan uang yang banyak. Di samping itu, pamorku pun mencapai puncak," imbuhnya.
Pada saat itu, ia merasa bahwa dirinya lebih besar dari alam ini dan seolah-olah usianya lebih panjang daripada kehidupan dunia. Meski begitu kehidupannya tidak seperti selebritas lain, yang hidup hura-hura dan bergelimang narkoba. Salah satu penyebabnya karena ia memiliki penyakit tuberkulosis yang pernah membuatnya nyaris meninggal pada 1968.
Dalam perjalanan hidupnya, Stevens kerap mengalami kegamangan akan identitas dan tujuan hidup. Melihat lingkungan yang ia geluti, Tuhan adalah uang dan ketenaran. Namun uang ternyata tidak membuatnya bahagia. Secara mandiri ia mulai melakukan pencarian kebenaran dan tujuan hidup yang selama ia rasa hampa dalam hatinya.
Pengembaraan dan pencarian akan kebenaran ia jalani. Ia merasa keyakinan yang selama ini ia pegang ia anggap belum mampu membasuh dahaga spiritualnya. Beberapa ajaran Timur ia pelajari dan coba mendalaminya. Demi dahaganya ini juga yang membawanya pada ajaran Timur.
"Aku mulai mengetuk pintu Budha dan falsafah Cina. Aku pun mempelajarinya. Aku mengira, kebahagiaan adalah dengan mencari berita apa yang akan terjadi di hari esok, sehingga kita bisa menghindari keburukannya. Aku berubah menjadi penganut paham Qadariyyah. Aku percaya dengan bintang-bintang, mencari berita apa yang akan terjadi. Tetapi, semua itu ternyata keliru," lanjutnya.
Suatu ketika, saat berlibur di Marrakesh, Maroko, Stevens sempat tergugah oleh alunan azan. Seseorang menjelaskan kepada Stevens bahwa itu adalah "musik untuk Tuhan". Stevens penasaran, "Musik untuk Tuhan? Saya belum pernah mendengarnya sebelumnya - saya pernah mendengar musik untuk uang, musik untuk ketenaran, musik untuk kepentingan pribadi, tapi musik untuk Tuhan!"
Pengalaman itu memang belum langsung mengubahnya. Namun seperti menjadi panggilan baginya untuk memahami petunjuk. Semua menjadi terang saat saudara laki-laki Stevens, David Gordon, seorang mualaf, membawakannya salinan Alquran sebagai hadiah ulang tahun dari sebuah perjalanan ke Yerusalem. Kitab suci itu datang padanya tak lama setelah insiden yang hampir merenggut nyawanya di laut Malibu. Stevens dengan cepat membaca dan mencoba mendalami isi mushaf tersebut.
Stevens kemudian secara resmi masuk agama Islam pada 23 Desember 1977. Namanya berubah menjadi Yusuf Islam pada tahun 1978. Yusuf adalah lafal Arab atas nama Joseph, dia menyatakan bahwa dia "selalu mencintai nama Yusuf" dan sangat tertarik dengan kisah Nabi Yusuf di dalam Alquran.
"Saya telah menemukan rumah spiritual yang telah saya cari hampir sepanjang hidup saya. Dan jika Anda mendengarkan musik dan lirik saya, seperti 'Peace Train' dan 'On The Road To Find Out', itu jelas menunjukkan kerinduan saya untuk arahan dan jalan spiritual yang saya tempuh," ungkap Stevens dalam wawancaranya dengan majalah musik Rolling Stone.
Yusuf kemudian menikahi Fauzia Mubarak Ali pada tanggal 7 September 1979, di Masjid Regent's Park, London. Mereka memiliki satu anak laki-laki dan empat anak perempuan dan tujuh cucu. Anak keduanya meninggal saat masih bayi. Mereka tinggal di London dan menghabiskan sebagian waktunya di Dubai.
Meninggalkan kehidupan gemerlap dunia musik, Yusuf fokus membesarkan keluarganya. Ia juga mendirikan sejumlah sekolah Muslim di seluruh Inggris dan organisasi amal Small Kindness, yang fokusnya membantu para korban terdampak perang.
Bertahun-tahun banyak yang mendorongnya untuk bermusik lagi. Ia tetap bergeming. Namun perang di Afghanistan dan konflik di Irak meresahkannya. Ia merasa dunia perlu melihat setidaknya satu sosok Muslim yang benar-benar anti-kekerasan di televisi. "Terlalu banyak antagonisme (terhadap muslim) di dunia," kata Yusuf. "Terlalu banyak muslim baik yang terlupakan karena aksi ekstremisme yang ditampilkan di seluruh dunia."
Ketika kelompok ISIS menjadi ancaman bagi Amerika dan negara lain di dunia, Yusuf pun mencoba memantapkan diri untuk muncul kembali. "Mereka (ISIS) tidak ada hubungnya dengan Islam. Muslim telah menjadi subjek banyak penguasa tiran dan regim yang opresif," kata dia.
Setelah 30 tahun meninggalkan panggung besar dunia musik, pada 2006 Yusuf kembali tampil. Ia sempat menggelar konser dengan tajuk 'Guess I'll TakeMy Time' dengan membawakan lagu lagu lama dan barunya. Ia menyambangi Inggris pada tahun 2009, Australia pada tahun 2010, dan seluruh Eropa di tahun 2011.
Pada suatu wawancara dengan The Guardian (2009), Yusuf tidak menampik pertentangan batinnya kembali ke musik. Namun ia berharap, ini bisa memberikan kontribusi bagi umat yang membutuhkan. "Menjadi bagian dari masyarakat multikultur artinya Anda harus berkontribusi dengan cara yang Anda bisa," kata dia. "Jadi saya mulai berpikir, saya bisa bernyanyi. Itu yang saya kuasai. Saya bisa membuat kontribusi."