Selasa 24 Oct 2017 10:12 WIB

Siswi SMP Diperkosa 21 Anak, LPAI: UU Anak Perlu Direvisi

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bilal Ramadhan
Kasus pemerkosaan (ilustrasi)
Foto: wonderslist.com
Kasus pemerkosaan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog Reza Indragiri Amriel mengatakan, undang-undang (UU) Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) membuat pelaku tindakan pemerkosaan siswi SMP bisa saja tidak mendapatkan hukuman yang setimpal. Karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk merevisi UU SPPA.

"Ini bejat, rusak. Tapi, apa boleh buat, sekeji apa pun para pelaku, karena kita terlanjur punya UU SPPA, kita tampaknya harus siap menerima kenyataan kelak pelaku yang diperkirakan masih berusia anak-anak itu tidak akan mendapatkan hukuman seberat yang publik inginkan," ungkap Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) itu kepada Republika.co.id, Selasa (24/10).

Reza mengatakan, hal tersebut memperkuat kritiknya selama ini. Ia pun beranggapan sudah seharusnya UU SPPA direvisi besar-besaran. Mengingat Presiden Joko Widodo mengatakan kejahatan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan Indonesia berada dalam situasi darurat kekerasan anak.

"Andai semakin lama semakin banyak anak yang melakukan 'kejahatan' dengan bobot bukan kepalang. Maka, bukankah sudah seharusnya UU SPPA kita revisi besar-besaran? Jangan ragu," jelas dia.

Menurutnya, sejumlah negara maju sudah merevisi juvenile justice system mereka sebagai respons dari tiga hal tadi. Inti dari revisi tersebut, kata Reza, adalah anak-anak yang melakukan tindakan terorisme, pembunuhan, pemerkosaan, dan penculikan mendapatkan perlakuan layaknya pelaku dewasa.

Ia menyebutkan, perlu diwaspadai celah memperingan hukuman terhadap anak-anak yang bertindak seperti itu. Ada empat celah yang menurut Reza dapat memperingan hukuman.

Pertama, hasil riset menunjukkan terjadi perlambatan kematangan pada bagian otak yang mengelola pengambilan keputusan. Kedua, terpaksa ikut memerkosa karena tekanan kelompok.

"Bagaimana korban bisa mengingat jumlah pemerkosanya dalam kondisi trauma hebat. Empat, perbedaan perkembangan seksualitas antara usia puber dan pascapuber walaupun sama-sama berada pada rentang anak-anak," kata dia.

Reza juga menjelaskan, terkait bagaimana nasib anak yang menjadi korban. Pada UU Perlindungan Anak disebutkan, anak yang menjadi korban berhak mendapatkan restitusi atau ganti rugi dari pelaku dan rehabilitasi. Reza mempermasalahkan berapa besaran restitusi bagi korban tersebut dan apabila pelaku tak sanggup membayarnya.

"Akankan negara mengambil alih tanggung jawab itu menjadi kompensasi bagi korban? Juga dengan pencederaan fisik dan psikis sedemikian parah, sudah sepantasnya korban memperoleh rehabilitasi sepanjang hayat," tuturnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement