REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Tidak terlihat ada yang istimewa di kampung berukuran lebar sekitar 10 meter itu. Lingkungannya hampir sama seperti kampung lainnya yang ada di sebagian besar Kota Surabaya, Jawa Timur.
Pagi hingga siang terlihat anak-anak kecil lalu lalang bermain. Suara percakapan dan merumpi warga juga terdengar di beberapa sudut setiap rumah warga kampung ini. Cukup terlihat biasa bagi sebuah kampung.
Namun, di balik hal yang biasa ternyata ada hal yang luar biasa. Perputaran ekonomi yang cukup tinggi dari sebagian besar warganya, khususnya ibu rumah tangga, membuat kampung ini mampu menggerakkan perekonomian sendiri dengan satu fokus bisnis, yakni produk kue basah.
Kampung itu bernama Rungkut Lor Gang 2, terletak di Kawasan Industri Rungkut, Kota Surabaya, dan menjadi salah satu percontohan kampung terbaik di 'Kota Pahlawan' ini. Berdasarkan catatan dan literasi yang ada, kampung ini juga dikenal sebagai "Kampung Kue" dan sudah banyak laman serta media massa mengupasnya.
Pembahasan terus menerus kampung itu, sebagai bagian dinamika kreativitas warga yang bisa ditiru untuk kampung lainnya. Agar menjadi percontohan. Hal itu, sekaligus menunjukkan bahwa sangat banyak dan beragam sumber rezeki yang bisa digali di tanah sendiri, tanpa harus keluar kampung untuk merantau.
Elva Susanti, salah satu penggerak ekonomi di kampung itu, mengakui tersohornya kampung ini dengan sebutan 'Kampung Kue' tidaklah secepat yang dibayangkan. Ada proses yang harus dilalui hingga kemudian terkenal, dan banyak brand atau sponsor yang masuk serta memberi dukungan terhadap kampung tersebut.
Elva menceritakan awal mulai dikenalnya sebagai "Kampung Kue" berasal dari niat membuka usaha sampingan para ibu rumah tangga di kampung setempat. Hal itu terjadi sekitar 2002. Mula-mula para ibu rumah tangga membuat kue basah kemudian menitipkan produksinya tersebut di pasar terdekat.
Satu, dua, tiga ibu rumah tangga lainnya, akhirnya mengikuti usaha sampingan tersebut dengan membuat olahan kue kering dan basah lainnya. Lambat laun, saking banyaknya ibu rumah tangga yang membuat kue dari kampung tersebut, warga lainnya berinisiatif membuka lapak sendiri di depan rumah.
Lapak-lapak tersebut ditiru warga lainnya hingga di sepanjang kampung kini banyak lapak penjual kue basah dengan produk kue, seperti putu mini, kue lumpur, pie susu, lemper, "roll cake" dan masih banyak lagi lainnya.
Melihat gelagat warga kampung ini, seorang warga bernama Khoirul tergerak hatinya untuk mempromosikan kampung tersebut ke instansi-intansi pemerintah dan swasta, serta industri perhotelan.
"Awalnya Bu Khoirul memperkenalkan kami ke pihak luar, sehingga kampung ini dikenal sebagai 'Kampung Kue'," kata Elva, ibu rumah tangga dengan dua putra dan satu putri tersebut.
Kemudian, kue basah produk kampung tersebut terkenal dan kini menjadi penyuplai sejumlah pasar tradisional di Kota Surabaya dan beberapa hotel berbintang di kota tersebut.
Bagi Elva, yang dahulunya pernah menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh salah satu perusahaan otomotif di Surabaya, usaha pembuatan kue basah yang dulu dianggap sampingan, kini menjadi pekerjaan utama, bahkan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga sebagian besar warga kampung.
Ibu kelahiran 1975 itu, mengakui para pria atau suami di kampung tersebut kini juga ikut membantu pembuatan kue. Bahkan, beberapa lainnya rela melepaskan pekerjaan sebagai buruh pabrik untuk membantu perekonomi keluarga dengan membuat kue bersama, karena semakin dikenalnya kampung itu dan semakin banyak pemesan dari pihak luar.
Omzet Bulanan
Perputaran ekonomi di "Kampung Kue" rata-rata menghasilkan keuntungan kotor Rp 20 juta per bulan, dengan minimal omzet mencapai Rp10 juta per bulan, dan produk yang dibuat di kampung itu terdiri atas 40 jenis kue basah. Setiap rumah, menghasilkan rata-rata maksimal 300 biji kue dan minimal 100 biji kue per hari, dengan jumlah kepala keluarga (KK) yang memproduksi kue mencapai 60 KK, dengan jam buka lapaknya mulai pukul 03.00 hingga pukul 06.00 WIB.
Sejak dikenal sebagai "Kampung Kue, warga setempat menjadi merasa lebih mudah mencari penghasilan. Asalkan mereka ada kemauan membuat kue dari yang paling mudah pun, seperti pisang goreng atau sejenisnya, produksi mereka sudah banyak yang membelinya. Elva sendiri menjadikan produksi pembuatan kue sebagai sumber utama ekonomi keluarganya.
Sementara itu, beberapa pihak luar, seperti intansi swasta, pemerintah dan BUMN kini banyak membantu keberadaan kampung tersebut dalam hal permodalan atau "sponsorship" di beberapa sudut kampung.
Salah satu instansi BUMN yang membantu proses produksi di "Kampung Kue", adalah Perusaan Gas Negara (PGN) yang jaringan pipanya banyak dimanfaatkan oleh warga kampung tersebut. Sales Area Head PGN Area Surabaya-Gresik, Misbachur Munir, mengatakan gas PGN mulai masuk ke kawasan tersebut pada 2014, sebab jaringan pipanya dekat dengan kampung yang memproduksi berbagai macam kue khas Jawa Timur tersebut.
Pihaknya menyuplai kebutuhan gas ke "Kampung Kue" di wilayah Rungkut, Kota Surabaya itu. Sebelumnya, warga menggunakan elpiji dan kemudian beralih ke gas sejak 2014.
Banyak manfaat yang didapat oleh pelaku UMKM kue tersebut dengan menggunakan gas PGN, salah satunya biaya bahan bakar yang lebih murah. Setidaknya, dengan menggunakan gas PGN bisa menghemat biaya produksi mereka hingga 50 persen.