REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Lebih dari 5.600 militan asing ISIS telah kembali ke negara asal mereka masing-masing. Mereka mencakup 400 militan dari total 3.417 militan asal Rusia; 760 dari total 3.244 militan asal Arab Saudi; 800 militan dari total 2.926 militan asal Tunisia; 271 militan dari 1.910 militan asal Prancis, dan setengah dari 850 orang yang meninggalkan Inggris.
Soufan Center, sebuah lembaga think tank yang berbasis di AS, mengatakan 33 negara telah melaporkan kedatangan para militan itu dalam dua tahun terakhir. Hal tersebut disebabkan karena mereka kehilangan wilayah di Irak dan Suriah.
Laporan dari lembaga tersebut mengatakan, kedatangan militan ISIS ini akan menjadi ancaman bagi keamanan negara dalam beberapa tahun akan datang. Sejak ISIS mengumumkan akan membentuk khilafah pada Juni 2014, kelompok teror itu berhasil menarik ribuan militan dari seluruh dunia.
Laporan Soufan Center mengatakan, arus masuk militan asing berhenti secara tiba-tiba pada akhir 2015. Saat itu ISIS mulai menderita kekalahan dan sejumlah negara telah menerapkan langkah yang lebih baik untuk mencegah perjalanan warga mereka ke Irak dan Suriah.
"Meskipun ada yang tidak sepakat mengenai ancaman yang dibawa oleh militan asing yang kembali ke negara asal mereka, atau ke negara lain yang mereka lewati, tidak dapat dipungkiri beberapa dari mereka akan tetap berkomitmen terhadap bentuk 'jihad' yang kejam," ujar laporan itu seperti dikutip BBC.
Perempuan dan anak-anak militan yang ikut kembali ke negara asal mereka, tentu akan menjadi masalah tersendiri. Negara harus berjuang untuk mendapatkan cara terbaik guna mengintegrasikan mereka kembali ke masyarakat. Mekanisme dukungan kesehatan mental dan sosial yang tepat juga akan sangat relevan bagi anak-anak.
Setelah pusat pemerintahan ISIS di Raqqa berhasil direbut kembali, identitas 19 ribu militan asing berhasil dikonfirmasi. Diperkirakan ada lebih dari 40 ribu militan asing dari 110 negara yang telah berduyun-duyun datang ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan ISIS sejak 2014.