Rabu 25 Oct 2017 06:06 WIB

Fadli Zon: Masih Ada Celah Merevisi Perppu Ormas

Rep: Kabul Astuti/ Red: Andri Saubani
 Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kiri) menyerahkan laporan pandangan pemerintah kepada Pimpinan Rapat Paripurna Fadli Zon (ketiga kanan) disaksikan Ketua DPR Setya Novanto (ketiga kiri), wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan (kedua kiri), Agus Hermanto (kedua kanan) dan Fahri Hamzah pada Rapat Paripurna pengesahan UU Ormas di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/10).
Foto: Republika/Prayogi
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kiri) menyerahkan laporan pandangan pemerintah kepada Pimpinan Rapat Paripurna Fadli Zon (ketiga kanan) disaksikan Ketua DPR Setya Novanto (ketiga kiri), wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan (kedua kiri), Agus Hermanto (kedua kanan) dan Fahri Hamzah pada Rapat Paripurna pengesahan UU Ormas di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang Paripurna DPR RI yang digelar pada Selasa (24/10) telah menyetujui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) menjadi undang-undang. Pengambilan keputusan dilakukan lewat sistem voting. Dari 445 anggota yang hadir, sebanyak 314 anggota menyatakan sepakat dan 131 anggota lainnya menolak.

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan, masih terbuka peluang untuk merevisi undang-undang ini, seperti halnya komitmen yang disampaikan dari pemerintah. Menurut Fadli, ada banyak poin dalam perppu ormas yang perlu direvisi. Terutama, terkait hukuman seumur hidup bagi pengurus dan anggota ormas terlarang.

"Saya kira banyak hal-hal yang harus dirombak dari undang-undang ini. Karena undang-undang ini tidak harmonis dengan undang-undang lainnya ya. Seperti soal hukuman seumur hidup yang saya kira terasa berlebihan," kata Fadli Zon di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (24/10).

Poin lainnya, terkait penghapusan klausul pengadilan dalam mekanisme pembubaran ormas. Dalam proses pengadilan, Fadli menjelaskan, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui sehingga wajar bila prosesnya bisa memakan waktu lama. Fadli mengatakan, akan sangat berbahaya jika tidak ada hukum sebagai pihak yang berada di tengah untuk mengadili.

Fadli melihat adanya proses pengadilan ini sebagai konsekuensi negara hukum. Kecuali, jika ingin meninggalkan negara hukum dan menjadi negara kekuasaan. Fadli melihat ada kecenderungan dari pemerintahan sekarang untuk mengarah pada sikap otoriterianisme.

Fadli menambahkan, Gerindra juga akan menunggu hasil judicial review dari Mahkamah Konstitusi. "Mudah-mudahan MK bisa menggunakan kewenangannya untuk mengoreksi sejumlah pasal-pasal yang kita anggap merupakan pasal-pasal yang otoritarian dan represif," kata Fadli.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement