Rabu 25 Oct 2017 06:30 WIB

Pengesahan Perppu Ormas Dinilai Sebuah Kemunduran

Rep: Mabruroh/ Red: Elba Damhuri
Anggota dewan yang menolak RUU terkait Perppu Ormas meninggalkan ruangan sidang ketika Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membacakan laporan pandangan pemerintah pada Rapat Paripurna pengesahan UU Ormas di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/10).
Foto: Republika/Prayogi
Anggota dewan yang menolak RUU terkait Perppu Ormas meninggalkan ruangan sidang ketika Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membacakan laporan pandangan pemerintah pada Rapat Paripurna pengesahan UU Ormas di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Rapat Paripurna DPR RI mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi UU menuai kekecewaan. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alghiffari Aqso mengatakan, LBH Jakarta beserta LSM-LSM dalam Koalisi Masyarakat Sipil sejatinya berharap DPR menolak perppu tersebut.

"Pengesahan Perppu Ormas hari ini merupakan momen sejarah kemunduran demokrasi dan negara hukum di Indonesia," ujarnya kepada Republika, di Jakarta, Selasa (24/10). Alghiffari menjelaskan, state heavy policy seperti Perppu Ormas akan berdampak pada Indonesia yang mengarah ke negara kekuasaan, bukan lagi negara hukum. Sebab, hak asasi manusia, terutama hak untuk berekspresi, berkumpul, berasosiasi, dan bahkan hak untuk beragama, menjadi semakin terancam.

Dari sudut pandangnya, Alghiffari menilai upaya negara dalam menindak ormas yang menganut paham radikalisme dan bersikap intoleran tentu merupakan sebuah keharusan. Pihaknya pun mendukung penuh upaya negara terkait hal tersebut sepanjang tetap dilakukan dalam koridor negara demokrasi dan negara hukum.

"Namun demikian, kami menilai (pengesahan Perppu Ormas) justru dapat membahayakan kehidupan negara demokrasi dan negara hukum itu sendiri," kata Alghiffari.

Anggota DPD RI dari DKI Jakarta, Fahira Idris, juga mengungkapkan kekecewaan terkait pengesahan Perppu Ormas menjadi UU. "Innalillahi. Sah sudah regulasi yang berpotensi antidemokrasi disahkan oleh lembaga demokratis bernama DPR menjadi undang-undang," ujar Fahira.

Ia menjelaskan, sebenarnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas masih memadai digunakan pemerintah untuk membubarkan ormas-ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pembubaran ormas tentunya melalui mekanisme pengadilan sebagai salah satu ciri negara demokrasi.

Fahira menyampaikan, yang membedakan negara demokrasi dan bukan demokrasi adalah sejauh mana lembaga peradilan diberi peran sebagai penyeimbang dari pemegang kekuasaan. "Jika negara tersebut demokratis maka lembaga peradilan menjadi aktor kunci menjaga check and balance dari pemegang kekuasaan," kata Ketua Ormas Bang Japar tersebut.

Dengan begitu, lanjut dia, akuntabilitas pemerintah terjaga sebagaimana aturan main dari demokrasi. Lembaga peradilan dalam negara demokrasi seharusnya menjadi penjaga agar tidak ada kebijakan pemegang kekuasaan yang melanggar HAM.

Dalam negara demokrasi, Fahira menambahkan, hanya lembaga peradilan yang paling objektif memutuskan sebuah tindakan melanggar hukum, bukan pemerintah. Oleh karena itu, membubarkan ormas lewat pengadilan menjadi konsekuensi jika bangsa ini ingin tetap teguh memegang prinsip demokrasi.

Nasib PAN

Sebagaimana sikap pada awal mula pengajuan Perppu Ormas oleh pemerintah, salah satu partai pendukung koalisi, yaitu Partai Amanat Nasional, konsisten menentang beleid tersebut. Tidak terkecuali pada saat Rapat Paripurna DPR, Selasa (24/10).

Terkait sikap mbalelo ini, apakah PAN akan dikeluarkan dari koalisi? "Saya kira, kalaupun itu terjadi, tentu Presiden (Joko Widodo) memiliki alasan-alasan yang sudah dipertimbangkan dengan matang," ujar Ketua Fraksi PAN Mulfachri Harahap.

Tidak mungkin, menurut Mulfachri, Presiden akan melakukan hal tersebut tanpa kajian yang mendalam dengan segala pertimbangan-pertimbangan. Namun, apabila itu terjadi, Mulfachri percaya bahwa keputusan tersebut sudah melalui penilaian yang objektif dari Presiden.

Mulfachri menambahkan, hubungan PAN dengan Presiden tetap baik. Salah satu menteri asal PAN pun ada di Kabinet Kerja, yaitu Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur. Dia pun berharap keputusan PAN menolak Perppu Ormas tidak akan mengubah hubungan yang sudah terjalin baik selama ini.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin mengatakan, meski memiliki risiko dikeluarkan dari koalisi pemerintah, PAN akan aman. Keputusan PAN menolak Perppu Ormas pun ia nilai tepat. "PAN itu kan partai Islam, jadi butuh suara dari umat Islam. Jadi, PAN sudah tepat menolak Perppu Ormas," kata Ujang.

Meski begitu, Ujang menyebutkan, hal tersebut memiliki risiko yang akan berdampak terhadap posisi PAN sebagai partai koalisi pemerintah. Bisa saja mereka dikeluarkan dari koalisi. Tetapi, kata dia, kemungkinan PAN tidak akan dikeluarkan dari koalisi untuk menjaga keseimbangan politik dalam pemerintahan Jokowi-JK.

Apabila ternyata nantinya PAN didepak dari koalisi, kata dia, PAN harus segera melakukan konsolidasi internal. Konsolidasi tersebut ditujukan agar mereka menggalang kekuatan untuk menjadi penyeimbang dan dalam rangka untuk menghadapi Pemilu 2019.

(Taufiq Alamsyah Nanda/Ronggo Astungkoro, Editor: Muhammad Iqbal).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement