REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menduga, penolakan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo oleh Amerika Serikat (AS) karena Gatot selama ini dikenal dekat dengan umat Muslim di Indonesia. Menurutnya, tak mungkin negara sebesar AS melakukan penolakan terhadap seseorang tanpa ada sebab yang jelas.
"Kita tahu sendiri, sejak masa kampanye, Presiden AS Donald Trump sudah menunjukkan dirinya anti-Islam. Jadi indikasinya bisa dilihat dari sisi itu," ungkap Ujang kepada Republika.co.id, Selasa (24/10).
Ujang menjelaskan, AS tidak mungkin melakukan penolakan tersebut tanpa ada alasan yang sangat genting bagi negara adidaya itu. Tentu mereka memiliki alasan, baik itu masalah keamanan atau yang lainnya. "Tidak mungkin itu hanya kesalahan teknis dari otoritas tertentu. Pasti terkoneksi sampai pada Presidennya. Saya kira itu berkaitan langsung dengan kebijakan Donald Trump," kata dia.
Apalagi, lanjut dia, ketika aksi bela Islam Gatot terindikasi berpihak kepada umat Islam. Umat yang melakukan aksi itu. Menurut Ujang, kelompok itu merupakan kelompok yang dicap oleh kelompok tertentu lainnya sebagai Islam garis keras. Meski pun hal itu masih bisa diperdebatkan. "Nah, di situlah saya kira titik temunya dengan Presiden Trump yang sangat anti dengan Islam garis keras," terangnya.
Ujang juga mengungkapkan adanya kemungkinan lain. Penolakan AS terhadap Gatot merupakan shock therapy bagi Indonesia. Selama kepemimpinan Joko Widodo, Indonesia lebih condong berkiblat ke negeri tirai bambu. "Bisa juga ini shock therapy dari AS untuk Indonesia karena ketergantungannya terhadap Cina lebih besar daripada AS," tutur dia.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Jakarta ini juga mengapresiasi langkah cepat pemerintah Indonesia dalam merespons penolakan tersebut. Meskipun, Ujang mengatakan, penolakan itu tetap merupakan tamparan keras bagi pemerintah Indonesia.