REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Dinas Pariwisata Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, berupaya mengoptimalisasi 12 destinasi wisata untuk meningkatkan devisa lokal. Bekasi kini menilai pariwisata sebagai penyumbang retribusi daerah yang menjanjikan.
"Destinasi itu terbagi menjadi dua golongan, yaitu wisata alam dan kuliner khas daerah setempat," kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bekasi Agus Trihono, Selasa (24/10).
Ke-12 tempat wisata tersebut antara lain yaitu Taman Buaya Indonesia Jaya, Waterboom Lippo Cikarang, Gedung Juang 45, dan Saung Ranggon yang merupakan wisata sejarah. Kemudian, Danau Cibeureum, Pantai Muara Gembong, Muara Beting, Muara Bendera, dan juga Kuliner Restoran Kartini Cikarang, Rumah Makan Saung Wulan.
Agus mengatakan, Kabupaten Bekasi sebenarnya memiliki nilai jual bidang pariwisata yang tinggi, tetapi perlu penataan ruang dan pembangunan destinasi. Hal ini juga perlu sistem pengelolaan yang baik, yang di dalamnya lebih mengandung ekonomi kreatif bentukan dinas pariwisata.
"Jadi lebih mengemas ke dalam satu paket wisata yang memiliki nilai sejarah hingga alam maupun kuliner khas," katanya.
Pengunjung juga akan difasilitasi dengan pemandu wisata yang dibekali pengetahuan terkait hal-hal yang diperlukan. Dalam upaya tersebut, kata Agus, akan mengutamakan peningkatan ekonomi kreatif guna memasarkan produk ciptaannya.
"Hal ini penting dikarenakan peranan pariwisata tidak luput dari sorotan ekonomi kerakyatan dan pendapatan daerah berupa retribusi," kata dia.
Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin mendukung kegiatan Dinas Pariwisata Kabupaten Bekasi tersebut. Menurut dia, wisata termasuk penyumbang retribusi pendapatan daerah yang besar. "Tentunya harus ada dukungan penuh. Pasalnya, dalam hal ini Kabupaten Bekasi mempunyai potensi pariwisata yang tidak kalah menarik dengan daerah lainnya."
Muara Gembong merupakan wisata hutan bakau yang menjadi kawasan satwa endemik. Bahkan, hutan tersebut merupakan salah satu kawasan perlindungan lutung jawa yang terancam punah.
Hutan bakau terletak di ujung Sungai Citarum yang langsung terhubung dengan laut lepas. Terdapat beberapa warung sebagai tempat beristirahat sebelum wisatawan mencari lutung jawa. Rindang bakau juga menjadi tempat hidup kera yang selalu bergerombol.
“Mereka tidak menyerang manusia. Di sini populasi kera lebih banyak dari lutung jawa yang hanya berjumlah sekitar 34 ekor saja, padahal sebelumnya mereka berjumlah sekitar 50 ekor,” kata penjaga kawasan satwa endemik Muara Gembong, Daman.
Daman yang telah menjaga lutung jawa sejak 2012 mengatakan, hutan bakau tersebut memiliki luas sekitar lima hektare yang pada 1982 silam dihuni oleh ratusan lutung jawa. Namun, seiring banyaknya penebangan hutan dan banyaknya pemburu, populasi lutung jawa menurun drastis.
Pemburu, kata Daman, biasa mengincar lutung jawa untuk diambil otaknya, dagingnya, hingga bulunya. Lutung jawa juga kerap disalahartikan warga sebagai hewan yang menyeramkan, padahal dia adalah hewan yang pemalu dan tidak pernah melukai manusia.
Sebelumnya, warga sangat bebas berburu dan menembak satwa yang dilindungi di hutan bakau ini, seperti lutung jawa, biawak, hingga elang. “Saya inisiatif sendiri untuk menjaga satwa di hutan ini meski tidak ada upah dari pemerintah," kata dia.
Menurut dia, walau pemerintah sempat ke hutan bakau, tetap tidak pernah ada perubahan apa pun. "Hutan ini juga statusnya belum jelas karena sebenarnya ini adalah lahan warga tetapi dijadikan lahan perlindungan satwa,” ujar Daman.
Daman mengatakan, uang operasional seperti bensin untuk berpatroli mengelilingi hutan serta uang membeli kacang kemasan untuk kera berasal dari kantongnya pribadi. Dia mengaku tidak keberatan dengan hal tersebut.
(Editor: Ilham Tirta)