REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendakwah (dai) merupakan profesi otonom, dimana aturan-aturan atau etikanya hanya boleh diatur oleh lembaga-lembaga keagamaan. Dalam hal ini, Kementerian Agama (Kemenag) selaku pemerintah tidak berhak melakukan intervensi.
Pengamat Hukum Abdul Fickar Hajar menegaskan, yang berhak membuat kode etik bagi dai adalah asosiasi sebuah profesi. Jadi dalam konteks dakwah, yang berwenang membuat kode etik dakwah bagi dai adalah asosiasi para pendakwah.
"Pemerintah tidak punya kewenangan membuat kode etik bagi para pendakwah," ujar Fickar kepada Republika.co.id, Rabu (25/10) siang. Jika pemerintah yang membuat kode etik itu, kata dia, maka sama dengan pemerintah melakukan intervensi kepada profesi yang sepenuhnya otonom.
Menurutnya, pemerintah tidak perlu sampai membuat kode etik dakwah dalam mengatur siaran dakwah yang akan ditayangkan di media massa. Karena, jika dai melakukan perbuatan pidana dalam dakwahnya, maka kontrolnya melalui penegakkan hukum pidana (hate speech, pencemaran nama baik, dan lainnya) atau dengan UU ITE, KUHP, dan sebagainya.
"Kalau Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, atau organisasi keagamaan lainnya bisa dimengerti jika mereka membuat kode etik dakwah, karena para pendakwah itu adalah anggota dari organisasi keagamaan tersebut. Pemerintah sama sekali tidak punya kewenangan sekalipun, termasuk Kemenag," papar Fickar.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bimas Islam Kemenag sedang merumuskan draft kode etik siaran dakwah di media elektronik. Dirjen Penerangan Agama Islam, Khoiruddin mengatakan, dengan adanya kode etik tersebut, pihaknya berharap ceramah agama bisa disampaikan dengan santun, baik di radio, televisi maupun di internet.