Rabu 25 Oct 2017 21:50 WIB

Ini Frasa yang Mengancam Perkembangan Demokrasi di UU Ormas

Aksi Walk Out saat sidang Paripurna pengesahan Perppu Ormas (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Aksi Walk Out saat sidang Paripurna pengesahan Perppu Ormas (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajar program studi ilmu hukum President University Tohadi menilai, Perppu Ormas baru diterima secara politik, namun belum dari segi substansi hukum. Tohadi menilai frasa yang paling mengancam perkembangan demokrasi dalam Undang-Undang Ormas adalah "bertentangan dengan Pancasila".

"Secara politik, terlepas kita setuju atau tidak setuju, Perppu telah sah menjadi UU. Namun, itu secara politik, tidak demikian dari sisi substansi hukum," kata Tohadi di Jakarta, Rabu (25/10).

Direktur Eksekutif Lembaga Analisa Konstitusi dan Negara (LASINA) itu menyebutkan dari 314 suara yang setuju, ada tiga partai yang mengajukan syarat revisi segera setelah Perppu itu disahkan menjadi UU. "Artinya secara substansi hukum partai-partai tersebut menolak, ini dibuktikan dengan syarat UU harus segera direvisi," katanya.

Menurut Tohadi, ada masalah substansi hukum yang berpotensi mengancam perkembangan demokrasi, yakni ketentuan atau frasa "bertentangan dengan Pancasila". Ormas yang menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila dapat dibubarkan, dan dapat dipidana paling singkat lima tahun sampai paling lama 20 tahun.

"Masalahnya dalam UU tersebut tidak didefinisikan batasan bertentangan dengan Pancasila," kata advokat yang pernah menjadi pengacara KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu.

Karena itu, dia mengingatkan, dalam revisi nanti harus diperjelas batasan pengertian bertentangan dengan Pancasila itu dan pihak atau lembaga mana yang berwenang untuk menentukan suatu perbuatan telah bertentangan dengan Pancasila atau tidak.

"Hal ini penting agar UU itu tidak menjadi senjata yang mematikan kehidupan ormas dan perkembangan demokrasi ke depan," katanya.

Hal lain yang menurut dia, penting direvisi ialah penerapan asas contrarius actus. Penerapan asas contrarius actus dalam menyikapi hak mendirikan dan menjalankan ormas itu menurutnya tidak tepat. Menurut Tohadi, asas contrarius actus itu untuk sesuatu yang pada dasarnya dilarang oleh negara dan diberikan melalui izin.

"Mendirikan dan menjalankan kehidupan ormas bukan sesuatu yang dilarang, tapi merupakan pengejawantahan hak berserikat sebagai hak asasi manusia. Maka itu tidak memakai lembaga perizinan, tetapi melalui pengesahan," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement