REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menilai revisi Undang-undang Ormas hasil pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 akan lebih cepat jika menjadi inisiatif DPR. Karenanya, ia menilai tidak perlu menunggu dari pihak pemerintah untuk mengusulkan revisi UU Ormas.
"Kalau pemerintah juga bisa saja. Tapi menurut kami yang tercepat adalah inisiatif DPR dan kita mulai dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada masuk prolegnas dan lain sebagainya," ujar Agus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (26/10).
Ia meyakini, proses revisi UU Ormas bisa dilakukan secepatnya setelah secara administrasi UU Ormas diundangkan oleh pemerintah. Saat ini, wakil ketua Dewan Pembina Partai Demokrat tersebut juga mengungkapkan Fraksi Partai Demokrat mulai menyiapkan revisi UU Ormas. "Tentu akan kita laksanakan secepatnya," kata Agus.
Agus mengungkapkan, Demokrat hendak menekankan poin revisi di UU ormas berkaitan sanksi dan proses peradilan yang dihilangkan di UU Ormas. Sebab ia menilai, sanksi yang ada di UU Ormas dinilai tidak memenuhi rasa keadilan bagi ormas-ormas yang ada.
Khususnya, penilaian sanksi merupakan subyektifitas dari pemerintah. "Tentunya yang paling pas karena kita negara hukum maka semua sanksi itu tidak bisa ditentukan oleh pemerintah sendiri. Apalagi yang memberikan itu menteri, dia juga peabat politik nanti akan berimbas yang kurang baik," ujar Agus.
Sehingga Partai Demokrat, menurut Agus, menilai pihak yang layak menetapkan sanksi dari pihak pengadilan. "Sehingga yang menentukan harusnya daripada yudikatif dari pengadilan, menetapkan sanksi apakah melanggar atau tidak, kita harus melakukan due process of law," katanya.
Apalagi, dalam UU Ormas juga menetapkan sanksi tak hanya kepada pimpinan ormas, melainkan juga para anggota ormas tersebut. "Coba bayangkan seandainya ada ormas yang terkena dari suatu sanksi tersebut itu seluruh anggotanya seluruh indonesia akan terkena sanksi. Itu tentunya kita harus dilaksanakan betul betul due process of law."