Jumat 27 Oct 2017 15:37 WIB

Sejumlah Gerai Ritel Tutup, Benarkah karena Daya Beli Turun?

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Nur Aini
Sejumlah pengunjung antre untuk berbelanja di Lotus Department Store di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (26/10).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah pengunjung antre untuk berbelanja di Lotus Department Store di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (26/10).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dalam beberapa bulan terakhir, kabar mengenai tutupnya sejumlah gerai ritel modern mewarnai pemberitaan media. Bermula dari PT Modern Internasional yang menutup seluruh 7 Eleven mereka pada Juli lalu. Kemudian disusul oleh tumbangnya Pasaraya Blok M dan Manggarai, sejumlah gerai Ramayana, dan yang terbaru Lotus.

Sejumlah pihak mengaitkan fenomena tumbangnya gerai-gerai ritel modern tersebut dengan pelemahan daya beli. Asumsi ini diperkuat dengan fakta lesunya penjualan di sejumlah pusat belanja seperti Glodok Plaza, Mall Taman Palem, Mangga Dua Mall, Plaza Blok M, dan Mal Blok M.

Namun, pemandangan berbeda justru ditemui di pusat perbelanjaan yang usianya relatif baru. Mall seperti Gandaria City, Kota Kasablanka, Central Park, dan Grand Indonesia. Pusat-pusat perbelanjaan tersebut hampir tak pernah sepi pengunjung. Tak jarang, antrean mobil yang menuju mall-mall tersebut mengular sampai menyebabkan kemacetan, terutama di akhir pekan.

Fakta ini mengindikasikan adanya tren baru di mana pusat perbelanjaan yang sudah tua tak lagi menjadi tujuan masyarakat. Sementara, kehadiran mall-mall seperti Gandaria City, Central Park dan Kota Kasablanka telah menjadi magnet baru dengan daya tariknya masing-masing.

Ekonom dari institute for development of economics and finance (Indef) Bhima Yudhistira menyebut, saat ini memang tengah terjadi perubahan pasar konsumen, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Perubahan tersebut dipicu oleh bergesernya usia konsumen yang saat ini didominasi oleh kalangan muda usia 18-35 tahun. Artinya, selera pasar juga ikut berubah. Sebab, generasi yang menguasai pasar saat ini lebih menggandrungi gaya hidup nongkrong ketimbang belanja produk fesyen.

Karenanya, kata Bhima, gerai-gerai ritel yang tak mampu membaca pergeseran pola konsumsi satu per satu bertumbangan. Selain itu, faktor lain seperti lokasi yang tak lagi strategis, perencanaan bisnis yang kurang matang dan biaya operasional yang terlalu besar juga ikut menjadi penyebab tumbangnya sejumlah gerai ritel modern.

"Saya sarankan pusat perbelanjaan yang merugi diubah menjadi pusat kuliner," ujar Bhima, pada Republika.co.id, Jumat (27/10).

Ia lalu merujuk pada data survei BCA pada sejumlah pusat perbelanjaan di Jabodetabek. Data tersebut menunjukkan adanya tren penurunan penjualan di pusat perbelanjaan tua di semester satu 2017. Seperti yang terjadi di Mall Taman Palem yang penjualannya anjlok 49 persen dan Glodok Plaza yang penjualannya turun 34 persen. Sebaliknya, kenaikan penjualan justru terjadi di mall baru yang basisnya makanan dan minuman. Seperti Gandaria City meraih pertumbuhan penjualan 20 persen, Kasablanka Mall 18 persen dan Mall Central Park 14 persen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement