REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Burundi menjadi negara pertama yang menarik keanggotaannya dari Pengadilan Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC). Burundi menuduh ICC dengan sengaja menargetkan orang-orang Afrika untuk diadili.
Pemerintah Burundi dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk eksekusi, dan penyiksaan. Komisi Penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak ICC untuk segera membuka penuntutan.
Secara teori, penarikan Burundi dari ICC tidak berpengaruh pada penyelidikan pengadilan yang sedang berlangsung di negara ini. Juru bicara untuk ICC, Fadi El-Abdallah, mengatakan kepada BBC bahwa pasal 127 menyatakan bahwa penarikan tidak mempengaruhi yurisdiksi ICC atas kejahatan yang telah dilakukan saat negara tersebut menjadi anggota.
Penarikan tersebut dilakukan setahun setelah Burundi mengajukan pemberitahuan resmi untuk keluar dari organisasi tersebut. ICC memiliki 122 negara anggota, 34 di antaranya adalah negara-negara Afrika.
Pada 2015, Burundi mengalami kerusuhan besar dan sebuah tindakan keras oleh pasukan keamanan setelah Presiden Pierre Nkurunzize memutuskan untuk mencalonkan diri untuk pertama kalinya, yang menyebabkan protes dari pihak oposisi yang menganggapnya tidak konstitusional.
Wartawan BBC Anna Holligan di Den Haag, Belanda, di mana ICC berbasis, mengatakan bahwa keputusan Burundi untuk meninggalkan ICC belum pernah terjadi sebelumnya. Kini, Kenya dan Afrika Selatan telah membuat ancaman serupa untuk menarik keanggotaan mereka.