REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP Bidang Organisasi Keanggotaan dan Kaderisasi (OKK) PPP Djafar Alkatiri mempertanyakan kebijakan Menteri Hukum dan HAM Yasona H Laoly yang dinilai melawan keputusan Mahkamah Agung (MA). Sikap melawan tersebut dengan tidak mengesahkan Surat Keputusan (SK) PPP pimpinan Ketua Umum Djan Faridz.
Padahal, Djafar mengatakan, sebagai partai Islam, PPP Muktamar Jakarta di bawah pimpinan Djan Faridz adalah tumpuan umat Islam untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). "Saya berharap pemerintah saat ini teguh menegakkan hukum dan keadilan. Ini bukan sekadar masalah PPP tapi menyangkut marwah hukum Indonesia," ujar Jafar kepada Republika.co.id, Sabtu (28/10).
Jafar menegaskan, Kemenkumham wajib mengeluarkan SK kepada PPP Muktamar Jakarta karena semua putusan pengadilan termasuk pendapat para ahli hukum memenangkan PPP kubu Djan Faridz. "Nah, kalau Menkumham belum memberikan SK, maka timbul pertanyaan di masyarakat, apakah karena diperintah Pak Jokowi, atau diperintah ibu Mega atau justru ada kekuatan radikal internasional yang mengendalikan beliau atau malah beliau punya agenda lain terkait kepentingan kelompok dan agama tertentu?," tutur Jafar.
Selain itu, Jafar juga membeberkan pihaknya akan terus menagih janji kepada pemerintah khsusnya Menkumham terhadap hasil hukum yang berlangsung. "Dimana ada 504 keputusan MA kita berharap dieksekusi sampai penerbitan SK oleh Menkumham," ujar Jafar.
Jafar menambahkan, PPP adalah aset bangsa dan partai yang kokoh menjaga NKRI. "Saya berharap tidak ada upaya adu domba di kalangan ummat Islam. PPP dibawah kepemimpinan Pak Djan Faridz siap mendukung dan menyukseskan kepemimpinan Pak Jokowi demi kemaslahatan ummat. "Saya yakin kebenaran dan keadilan akan berpihak pada kita dan PPP akan kembali bersatu," tegasnya.
Berdasarkan laman Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa MK menolak permohonan yang diajukan oleh Djan Faridz yang ditetapkan sebagai Ketua Umum DPP PPP. Putusan dengan Nomor 24/PUU-XV/2017 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat didampingi hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (26/10).
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman menjelaskan kedudukan hukum sebagai perseorangan warga negara Indonesia. Menurut Mahkamah, selain pemohon menyatakan diri sebagai perseorangan warga negara Indonesia, pemohon dalam permohonannya menguraikan pula posisinya sebagai Ketua Umum DPP PPP.
Kerugian konstitusional yang didalilkan oleh pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia terkait erat dan bahkan tidak dapat dilepaskan dari dalil pemohon sebagai Ketua Umum DPP PPP yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan adanya konflik kepengurusan partai politik. Anwar menjelaskan terhadap pengujian konstitusionalitas ketentuan
mengenai sengketa internal kepengurusan partai politik telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XIV/2016 bertanggal 25 Januari 2017.
Dalam putusan tersebut, Mahkamah berpendapat tidak ada kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon dengan berlakunya Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada dan Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan Pasal 33 UU Parpol yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya sehingga pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Karena itu menurut Anwar, Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan pemohon.