REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Mudzakir menyarankan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 2 Tahun 2008 untuk direvisi. Sebab Perkap tentang Pengawasan, Pengendalian dan Pengamanan Bahan Peledak Komersil itu masih memiliki celah otoritas, terkait lalai mengawasi masyarakat yang memproduksi suatu produk yang mudah terbakar.
"Perkap itu harus ditinjau kembali karena prinsipnya bahan peledak dalam bentuk mercon ataupun sejenisnya itukan tidak boleh," katanya saat dibubungi Republika.co.id, Senin (30/10.
Mudzakir menuturkan, suatu badan usaha diperbolehkan produksi suatu produk yang bahan utamanya menggunakan bahan peledak. Diperbolehkan itu hanya untuk membuat kembang api.
"Di Indonesi dibolehkan itu pabrik kembang api ya. kalau kembang api itu hanya keindahan estetika. tapi kalau petasan tidak boleh," katanya.
Muadzir mengatakan, meski membuat kembang api diperbolehkan, pihak otoritas terkait kepolisian dan pemda harus melakukan kontrol yang ketat dan memastikan tempat pembuatannya memang jauh dari pemukiman warga.
Menurut Muadzir, kontroversial mengenai dibolehkan atau tidanya bahan peledak dibuat menjadi sebuah produk kembang api, petasan, mercon dan lain sebagainya sudah lama terjadi. Seharusnya pemerintah konsisten kalau semua bahan peladak dilarang dijadikan sebuah prodak apapun tanpa terkecuali.
"Jadi kalau dilarang keras itu mestinya nadanya harus sama. Setiap produk bahan peledak misalnya kembang api mesti tidak ada unsur ledakannya kalau dilarang tidak boleh dibuat, apalagi tidak ada pengawasan ketat," katanya.
Seperti diketahui, Pasal 1 ayat 11 sampai 31 di Perkap Nomor 2 Tahun 2008 itu membolehkan masyarakat menjalankan usaha dengan bahan utamanya yang mudah meledak dan terbakar.
Salah satu yang menjadi tolerasi ialah diperbolehkan membuat kembang api selain kembang api, petasan, mercon dan sejenisnya tidak boleh diproduksi. Meski secara materiil mengizinkan, Perkap itu membuat prosedur sangat ketat untuk dapat menjalankan usaha.