Rabu 01 Nov 2017 09:31 WIB

Cina Kebut Proyek di Laut Penuh Sengketa

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Elba Damhuri
Citra satelit terbaru menunjukkan pembangunan hanggar militer di Karang Subi, Laut Cina Selatan oleh Cina.
Foto: The New York Times
Citra satelit terbaru menunjukkan pembangunan hanggar militer di Karang Subi, Laut Cina Selatan oleh Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Sebuah citra satelit baru-baru ini memperlihatkan bahwa Cina secara diam-diam melakukan lebih banyak pembangunan dan reklamasi di Laut Cina Selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa Beijing semakin memperkuat klaimnya atas wilayah perairan strategis tersebut.

Dengan perhatian global yang terfokus pada ketegangan di Semenanjung Korea serta Kongres Partai Komunis Cina belum lama ini, persengketaan di Laut Cina Selatan tak mendapatkan ruang pemberitaan dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini menjadi keuntungan bagi Cina untuk mengembangkan proyeknya di Laut Cina Selatan.

Citra satelit baru-baru ini menunjukkan Cina terus membangun fasilitas di Pulau North dan Tree di Pulau Paracel yang diperebutkan. Jalur perdagangan strategis yang melintasi pulau-pulau tersebut akan tetap menjadi pemicu utama perselisihan global di Laut Cina Selatan.

Meningkatnya proyek pembangunan di Laut Cina Selatan sebelumnya telah disinggung oleh Presiden Cina Xi Jinping dalam Kongres Partai Komunis Cina beberapa waktu lalu. "Konstruksi di pulau dan batuan karang di Laut Cina Selatan telah mengalami kemajuan yang mantap," ujar Xi saat itu.

Juru bicara Kementerian Pertahanan Cina Ren Guoqiang menegaskan, pulau-pulau yang telah dibangun di Laut Cina Selatan, tak terbantahkan, masuk dalam teritorial negaranya. Oleh sebab itu, ia berpendapat tak benar jika ada pihak yang menuding Cina tengah melakukan ekspansi militer dengan membangun pulau-pulau serta fasilitasnya di sana.

"Anda tidak bisa mengatakan bahwa pembangunan di pulau dan terumbu karang di Laut Cina Selatan serta pembangunan fasilitas pertahanan yang diperlukan di sana merupakan sebuah ekspansi penyebaran militer," kata Guoqiang.

Sementara itu, Amerika Serikat (AS) tetap mengkhawatirkan ketegangan yang memayungi proyek reklamasi serta pembangunan fasilitas militer Cina di Laut Cina Selatan. Terlebih lagi, dengan adanya beberapa pihak yang hendak menggunakan taktik pemaksaan untuk mengukuhkan klaimnya atas wilayah perairan tersebut.

"Kami secara konsisten meminta Cina, juga penggugat lainnya, untuk menahan diri dari reklamasi lebih lanjut, pembangunan fasilitas baru, militerisasi fitur yang dipersengketakan," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Michael Cavey.

Dalam sebuah pidato di Singapura awal Oktober lalu, Komandan Komando Pasifik AS Laksama Harry Haris mengatakan, saat ini negaranya memang sedang mendorong Cina untuk melakukan sesuatu guna menghentikan proyek nuklir dan rudal Korea Utara. Kendati demikian, bukan berarti AS membenarkan tindakan Cina di Laut Cina Selatan.

Haris meminta Beijing untuk menghentikan tindakan provokatifnya atas wilayah perairan tersebut. "Di mana orang-orang Cina membangun kekuatan tempur dan keuntungan posisi dalam upaya menegaskan kedaulatan de facto atas fitur maritim yang disengketakan," ujarnya.

Pentagon dilaporkan telah memulai patroli navigasi yang lebih reguler atau FONOPS, untuk menentang klaim Beijing atas Laut Cina Selatan. Beberapa analis yakin bahwa Washington berupaya untuk melawan dominasi Cina yang merayap di wilayah tersebut.

"Cina tampaknya sedang mengejar strategi yang matang dan berjangka panjang untuk mencapai kekuasaan atas Laut Cina Selatan sementara AS merespons dengan manuver taktis ad hoc," kata Ian Storey, pakar Laut Cina Selatan di Yusof Ishak Institute, Singapura.

Pakar keamanan Cina di Washington's Center for Strategic and International Studies, Bonnie Glaser, menilai, hanya persoalan waktu terkait kapan Cina menyatakan kepentingannya atas Laut Cina Selatan. "Saya pikir ini adalah pertanyaan tentang kapan, bukan jika, Cina akan mulai menegaskan kepentingannya yang lebih kuat di Laut Cina Selatan. Dan, itu kemungkinan akan menjadi pilihan Cina," ungkap Glaser.

Cina berupaya untuk menenangkan pihak-pihak yang menggugat proyek reklamasi dan fasilitas militernya di Laut Cina Selatan, salah satunya adalah Filipina. Beijing pun berupaya mempercepat pembicaraan dengan negara-negara ASEAN lainnya di tengah kekhawatiran AS terkait ketegangan di wilayah perairan tersebut.

Cina mengklaim, sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan melalui garis kontroversial sembilan dasawarsa. Klaim tersebut bertentangan dan tumpang-tindih dengan klaim maritim beberapa negara yang berada di sekitar wilayah perairan tersebut, antara lain, Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei.

(Editor: Yeyen Rostiyani).

sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement