REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Bank Indonesia menggelar Seminar dan Lokakarya Internasional bertema Peran Bank Sentral dalam Kebijakan Makroprudensial di Jakarta, Kamis (2/11). Kegiatan dihadiri para bankir dan pejabat dari BIS, IMF, dan SEACEN.
Seminar itu membahas masalah seputar kerangka kerja kebijakan makroprudensial, penilaian, alat dan instrumen makroprudensial, serta interaksi dan integrasi antara kebijakan makroprudensial dan kebijakan lainnya untuk mengantisipasi stabilitas makroekonomi.
Dalam sambutannya, Gubernur Bank Indonesia, Agus DW Martowardojo, menyatakan seminar tersebut akan bermanfaat bagi peserta dalam memahami peran penting bank sentral dalam kebijakan makroprudensial, serta memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa bank sentral sebagai otoritas kebijakan makroprudensial yang paling tepat.
Menurut Agus, Seminar dan lokakarya ini juga berfungsi sebagai acara strategis pendahuluan untuk serangkaian seminar dan kegiatan lain. Di mana pihak berwenang Indonesia, IMF, dan Bank Dunia mengaturnya sebagai dasar untuk Pertemuan Tahunan Bank Dunia IMF 2018, yang akan diadakan pada Oktober 2018, di Bali.
"Kegiatan ini terjalin dengan tema Voyage to Indonesia, sebuah perjalanan yang akan membawa dunia ke Indonesia yang baru, ekonomi yang telah direformasi, tangguh dan progresif. Saya harap Anda terus terlibat dalam berbagai program Voyage to Indonesia," jelas Agus.
Agus mejelaskan, ketidakpastian global menghasilkan kerentanan dalam sistem keuangan di seluruh dunia. Normalisasi neraca keuangan, ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate, dan transisi kepemimpinan Sistem Federal Reserve di AS, pascaperkembangan Brexit di Eropa, dan masalah geopolitik saat ini di Spanyol dan semenanjung Korea, adalah beberapa dinamika global yang harus direspon dengan hati-hati.
Menurut Agus, pihak berwenang seharusnya tidak tunduk pada kerentanan dalam sistem keuangan karena dapat membahayakan keberlanjutan pemulihan ekonomi global, dan memiliki risiko tertentu terhadap stabilitas keuangan global. Beberapa kerentanan yang teridentifikasi meliputi meningkatnya utang luar negeri di beberapa negara, lonjakan risiko pasar global yang disebabkan oleh risiko yang berlebihan dari perilaku agen ekonomi, serta pencairan dana yang rumit dan cepat.
Ketidakpastian dan kerentanan global berpotensi menciptakan ketidakseimbangan sistem keuangan, dan pada akhirnya memicu risiko sistemik. "Kita mungkin ingat ketika pihak berwenang di seluruh dunia berusaha untuk menemukan kerangka kerja dan kebijakan yang sesuai namun suflident untuk mengurangi risiko sistemik dan ketidakseimbangan dalam sistem keuangan, pada awal tahun 2000," imbuhnya.