REPUBLIKA.CO.ID,Sore itu, Republika mengunjungi sebuah sanggar kebudayaan Betawi di kawasan Cipete Utara. Beberapa budayawan Betawi yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Betawi sedang berkumpul dalam sanggar.
Salah satu dari mereka adalah Ketua Bidang Pelestarian Lembaga Kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra. Pria yang akrab disapa Abang Yahya itu berkenan berbincang-bincang dan menjelaskan seluk beluk Ondel-Ondel, boneka berukuran besar itu.
Mengawali ceritanya, Yahya mengatakan, saat zaman di mana agama Islam belum masuk ke Nusantara, masyarakat sangat percaya dengan sesuatu yang besar dan dianggap memiliki kekuatan. Tak heran, masyarakat saat itu sangat mengagungkan gunung, termasuk boneka raksasa.
Masyarakat saat itu menggunakan boneka raksasa sebagai hal yang diagungkan karena memiliki kekuatan. "Kekuatan tersebut dimaknakan masyarakat sebagai penjaga kampung untuk menolak bala," ujar dia menjelaskan.
Boneka Ondel-Ondel dulunya dikenal dengan nama Barungan, yang berarti berkelompok atau bareng. Karena dalam ritualnya, Barungan digunakan dengan cara mengaraknya keliling kampung.
Ritual-ritual yang biasa menggunakan Barungan untuk diarak masyarakat saat itu, biasanya yang berkaitan untuk pembersihan kampung dan mencegah wabah penyakit. “Selain itu juga untuk meramaikan ritual persembahan kepada Dewi Sri dari para petani,” ungkap Yahya.
Yahya juga mengatakan, Barungan dibuat satu pasang yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Hal itu
merupakan simbol keserasian yang berarti bahwa semua yang diciptakan ada sepasang. Seperti siang dan malam, hitam dan putih, dan sebagainya.
Hal itu memberikan arti pula bahwa dalam hidup harus ada keseimbangan. “Bila hanya satu boneka, keseimbangan akan goyah,” tuturnya.
Pria yang juga budayawan itu mengatakan bentuk Barungan laki-laki yang seperti raksasa memiliki wajah merah serta bertaring. Ini menunjukkan bahwa masyarakat memang membuat Barungan sangat menyeramkan. “Biar pade takut tuh roh-roh yang ada,” katanya.
Sedangkan pada Barungan perempuan, wajahnya berwarna putih, diberi model baju kurungan, dan dipasangkan kain batik bermotif kembang-kembang. Sang boneka perempuan dibuat cantik.
Sementara penyebutan Ondel-Ondel sendiri sangat populer pada zaman setelah kemerdekaan RI dan juga awal 1960-an. “Apalagi Bang Ben (Benyamin) waktu itu nyanyiin lagu Ondel-Ondel,” katanya.
Seiring dengan berkembangnya zaman, saat ini banyak orang yang memang memanfaatkan kesenian untuk kepentingan tertentu, seperti kepentingan politik. Namun begitu, saat ini masih ada masyarakat lokal yang menggunakan Ondel-Ondel untuk melakukan ritual tolak bala. “Seperti kawan kita di Pondok Rangon dan Kampung Setu, Jakarta Timur,” ujar Yahya menyontohkan.
Mengenai pengamen Ondel-Ondel yang saat ini marak, Yahya menegaskan hal itu sangat biasa dan tak ada masalah. Baginya, mengamen itu merupakan cara seniman untuk mempertahankan hidup. Karena itu, ia tak keberatan bila melihat Ondel-Ondel beraksi di jalanan. “Saat ini kesenian mengarah ke hiburan, dan menunjukkan daya tarik wisata tersendiri,” tuturnya.
Namun Yahya menekankan, dengan turunnya Ondel-Ondel di jalanan, harus diiringi dengan kepatutan (pakem/standar) yang berlaku. “Pakemnya menggunakan dua Ondel-Ondel, ya bawalah dua,” katanya tegas.
Kepatutan yang lain adalah tarian Ondel-Ondel harus didampingi oleh musik pengiring Ondel-Ondel. Alat-alat musiknya wajib dibawa dan bukan sekadar diiringi pemutar lagu.
Yahya pun menegaskan, dengan adanya Peraturan Daerah mengenai Pelestarian Budaya Betawi Nomor 4 Tahun 2015, yang dilanjutkan implementasinya di Peraturan Gubernur Nomor 229 Tahun 2016, sudah seharusnya Pemerintah memberikan ruang khusus bagi para seniman Ondel-Ondel untuk mengamen di jalanan.
Sebagai orang Betawi asli, Yahya juga menekankan pada masyarakat untuk menaati kepatutan yang berlaku dalam adat Betawi. Ia menegaskan, siapapun yang memanfaatkan kesenian Betawi, khususnya Ondel-Ondel, tidak boleh memperlakukan seni sewenang-wenang. “Mari kita hormati kearifan lokal,” ujar dia menutup pembicaraan.