REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti
Dia merupakan sosok yang mencerminkan perubahan besar dalam tradisi Islam. Abu Hurairah merupakan intelektual terkemuka. Dia memiliki karunia yang tidak biasa berupa ingatannya yang kuat. Namun, dengan keberkahan tersebut, dia harus menghadapi ujian fitnah dari kelompok yang senang dengan tipu muslihat.
Karunia berupa pendengaran dan ingatan yang sangat baik dimanfaatkannya untuk mendengarkan, mengerti, dan menghafal banyak hadis. Itulah sebabnya dia mampu menghafal dan menceritakan hadis lebih dari sahabat Rasulullah lainnya.
Selama periode al-Wada'iin, para penulis pembohong menyalahgunakan reputasi Abu Hurairah untuk menceritakan tentang Rasulullah. Setiap kali membuat hadis palsu dengan mengutip Abu Hurairah, mereka berusaha membuat reputasi dan status Abu Hurairah sebagai narator tentang Nabi dipertanyakan.
Namun, karena pengabdian hidup untuk meriwayatkan hadis Nabi dan menolak setiap kepalsuan, Abu Hurairah diselamatkan dari kebohongan dan tipu daya tersebut.
Abu Hurairah merupakan sosok yang mencerminkan perubahan besar dalam tradisi Islam. Dia berubah dari seorang pekerja menjadi majikan, dari orang yang tak dikenal menjadi imam dan orang yang luar biasa, dari pemuja batu menjadi beriman kepada Allah.
Masa kecilnya sebagai anak yatim miskin membuatnya harus hidup penuh dengan kesungguhan. Dia berasal dari Yaman, suku Daus. Abu Hurairah lahir sekitar 21 tahun sebelum Hijriyah. Kemudian, dia bekerja kepada Busrah binti Ghazwaan untuk memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari.
Kesehariannya diisi dengan bekerja sebagai budak yang membantu majikan turun dari kuda dan berjalan bersamanya saat Ghazwaan berkuda. Setelah menjadi Muslim, majikannya pun dijadikan oleh Allah sebagai istrinya.
Pertama kali Abu Hurairah bertemu Rasulullah dan memeluk Islam pada tahun ketujuh Hijriyah, tepat saat Perang Khaibar. Setelah memeluk Islam, dia berjanji tidak akan terpisah dengan Rasulullah kecuali tidur. Dia pun tinggal dekat dengan Rasulullah selama empat tahun hingga Rasul wafat.
Setelah bersyahadat, pada masa awal kebangkitan Islam, Abu Hurairah menyadari pentingnya mereka menyimpan warisan dan ajarannya. Ada beberapa ahli Taurat di antara para sahabat yang biasa menulis, tetapi jumlahnya sedikit. Selain itu, beberapa dari mereka tidak memiliki waktu luang untuk bisa menulis setiap hadis yang diucapkan Rasulullah.
Abu Hurairah bukanlah seorang juru tulis, tetapi belajar dari hati, dan dia memiliki waktu luang. Sebab, dia tidak memiliki tanah untuk ditanam atau diperdagangkan untuk diurus.
Abu Hurairah bukanlah salah satu ahli Taurat, tetapi dia memiliki ingatan kuat yang membuatnya mengingat berbagai hal dengan cepat. Oleh karena itu, dia biasa tidak berpisah dari Rasul, baik dalam perjalanan maupun di lain waktu.