REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mengatakan polisi harus mampu bersikap bijak dalam memproses laporan Setya Novanto (Setnov) terhadap sejumlah akun media sosial yang dianggap melakukan penghinaan. Pelaporan atas beberapa akun media sosial berpotensi mendistorsi penegakan hukum kasus korupsi.
"Polisi harus bijak karena yang begini (pemberitaan pelaporan) bisa mendistorsi penegakan hukum anti korupsi. Kalau yang begini diberi perhatian lebih, bisa jadi pemberantasan korupsi akan menjadi lemah," ujar Zainal kepada wartawan di Kantor DPP PSI, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Ahad (5/11).
Sikap bijak polisi, kata dia, bisa dibuktikan dengan cara melihat lebih detail kasus ini. Zainal menyebut ada konteks lain di balik laporan meme di sejumlah media sosial itu.
Konteks pertama, ketika foto kondisi sakit Setnov tersebar atau secara sengaja disebar ke publik, maka yang bersangkutan secara tidak langsung memancing masyarakat untuk berkomentar.
"Komentar masyarakat ada dua, dalam bentuk kata atau gambar. Nah ini ada konteksnya di mana kecurigaan publik, dia tidak sakit atau dia sedang berpura-pura sakit. Karena ada analisis selangnya tidak tersambung, " lanjut Zainal.
Konteks selanjutnya, ujar dia, ketika mayarakat muak dengan pemberantasan korupsi yang tidak bisa selesai ketika berhadapan dengan pejabat besar. Zainal mencontohkan, ketika dipanggil oleh pengadilan dalam kasus KTP-el, selalu ada alasan dari Setnov.
"Dia tidak mau, tidak bisa, setiap dipanggil sakit. Konteks ini yang harus dibaca. Kejadian ini bukan penghinaan bahwa orang tidak ngapa-ngapain lalu dihina, bukan. Ada konteksnya," tambah Zainal.
Sebelumnya, Penyidik Bareskrim Polri sedang menyelidiki berbagai akun media sosial yang dilaporkan oleh Setya Novanto karena diduga melakukan penghinaan. Dari 32 akun yang dilaporkan ke polisi, sembilan akun diduga telah melakukan penghinaan.