REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proyek pembangunan Meikarta di wilayah Karawang-Bekasi Jawa Barat sangat berpotensi menjadi isu seksi di Pilgub Jabar 2018. Isu tersebut bisa berefek positif buat calon, bisa juga sebaliknya, merugikan calon.
"Yang harus diwaspadai, jika tidak hati-hati isu Meikarta juga rawan menjadi isu liar dan melebar ke isu SARA, yang bukan saja merugikan masyarakat, tapi juga merusak citra kandidat," kata peneliti senior LSI Network, Toto Izul Fatah kepada Republika.co.id, Senin (6/11) saat diminta analisisnya tentang isu yang akan bergulir di Pilkada Jabar.
Ditanya tentang kemungkinan menularnya efek Pilgub DKI Jakarta ke Pilkada Jabar, terutama isu sensitif seperti suku dan agama, Toto mengungkapkan kemungkinan hal itu bisa saja terjadi.
Menurut Toto, yang juga direktur eksekutif Citra Komunikasi LSI Denny Ja ini, sejauh pengamatannya belum ada isu besar yang berefek siginifikan pada perubahan peta politik di Jabar. Berdasarkan temuan survei terbaru LSI Network per September-Oktober, peta dan dinamikanya masih berlangsung normal.
Namun, lanjut dia, ada isu-isu tertentu yang melekat dalam persepsi publik atas sejumlah kandidat yang bertarung. Sebut saja, Ridwan Kamil yang dipersepsi sebagai calon yang diusung parpol pengusung Ahok. Itu pun, persepsi 11 persen warga Jabar dari 12,7 persen yang tahu tentang isu tersebut. Begitu juga dengan calon lainnya.
Hanya, Toto menduga, isu yang potensial menyeruak, walaupun belum terpotret di survei, adalah isu Meikarta. Atas isu tersebut, baik kandidat maupun para elit politik di Jabar harus mewaspadanya. Sebab, salah-salah menyikapi dan mengemasnya sangat berpotensi melebar ke isu SARA yang sudah tentu dapat merugikan kandidat dan masyarakat itu sendiri.
“Bukan mustahil, pada saatnya nanti akan muncul labeling yang dilengketkan dengan salah satu calon seperti, Cagub Meikarta versus Cagub anti Meikarta. Siapa yang diuntungkan? Tergantung seperti apa isu itu dikemas. Yang harus diwaspadai, jangan sampai itu melebar ke isu SARA, sebab seperti sudah mulai beredar di sosmed, Meikarta sering dikaitkan dengan proyek yang dipaksakan untuk hunian etnis tertentu,” jelas Toto.
Dijelaskan Toto, labeling itu akan muncul tergantung pada seberapa vulgar orang-orang yang berada di belakang proyek tersebut, termasuk pengusahanya untuk mendukung salah satu calon. Jika pengusahanya cerdas, pasti dukungannya tak akan diperlihatkan secara vulgar, termasuk melalui kaki tangannya.
Toto mencontohkan kasus reklamasi pada Pilgub DKI Jakarta. Karena tak diantisipasi efeknya, pada putaran kedua muncul labeling, Cagub pro reklamasi dan cagub anti reklamasi.
“Nah, pada Pilgub Jabar mendatang, bukan mustahil akan muncul isu serupa dengan kasus berbeda, cagub Meikarta versus cagub anti Meikarta. Tentu, sepanjang tidak melebar ke isu SARA, misalnya, hanya sebatas isu perijinan, tak masalah buat kepentingan kematangan berpolitik warga,” jelasnya.
Dengan karakteristik kultur Jawa Barat yang religius, meski berkategori Islam kultural yang lebih cair, siapapun calon yang bertarung harus memperhitungkan itu. Meskipun, isu agama tak akan terlalu kuat jika tak ada pemicunya seperti Ahok di DKI. Dari temuan survei, Jakarta Effect itu tak terlalu berpengaruh, termasuk terhadap calon yang diusung parpol pendukung Ahok.
Namun begitu, Toto mengingatkan, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi, termasuk mencuatnya isu SARA jika para kandidat termasuk para pendukungnya tidak berhati-hati seperti Ahok. Jika itu terjadi, bukan mustahil juga akan muncul tsunami politik yang sekarang unggul di survei, tapi bisa kalah saat pemilihan nanti.
“Yang pasti, Pilgub Jabar akan memberi “PR” buat kandidat sekaligus buat pengembang Meikarta. Kepada pengembang Meikarta, jangan terlalu menonjolkan dukungan kepada salah satu calon. Kedua, Meikarta harus mampu memberi penjelasan yang benar dan rasional tentang proyek tersebut, terutama untuk menjawab berbagai tudingan miring selama ini,” tegasnya