REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi X Dewan Pimpinan Rakyat (DPR) RI Abdul Fikri Faqih menilai, hukuman berbasis profesi terhadap guru yang melakukan pelanggaran perlu diefektifkan kembali. Sehingga menurut dia, tidak sepenuhnya kasus pelanggaran sekolah oleh guru atau lainnya dibawa ke ranah hukum.
"Aktifkan dan perkuat dewan atau lembaga guru Indonesia untuk menegakkan kode etik guru. Sehingga tidak seluruhnya dibawa ke ranah hukum dan dibawa ke delik pidana/perdata, tapi tegakkan kode etik guru itu," ungkap Fikri ketiak dihubungi Republika.co.id, Senin (6/11).
Terkait tingginya kasus kekerasan di sekolah, Fikri menilai, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) perlu mengambil peran sentral untuk meningkatkan kualitas dan karakter guru. Meskipun, pendidikan termasuk pada sektor yang didesentralisasikan kepada pemerintah daerah.
"Misalnya ada kekerasan seperti yang terjadi di SMP Pangkal Pinang, Kemendikbud bisa menurunkan tim untuk mengusut tuntas kasus tersebut," jelas Fikri.
Fikri juga mengaku khawatir, jika video-video kekerasan di sekolah terus disebarluaskan melalui media sosial. Menurut dia, besar kemungkinan video tersebut justru berdampak negatif atau bahkan menjadi pembenaran bagi kasus kekerasan sebelumnya yang sudah terjadi di suatu daerah.
Belum lama ini, video yang menampilkan aksi pemukulan diduga guru kepada siswa SMP di Pangkal Pinang kembali mencuat dan viral. Video berdurasi 37 detik menjadi viral di media sosial. Dalam video singkat tersebut, di sebuah ruangan kelas, terlihat seorang guru menghajar muridnya di hadapan murid lainnya.
Pemukulan yang dilakukan oleh oknum guru yang mengajar mata pelajaran matematika ini, bermula ketika korban dengan sengaja mengejek guru tersebut. Korban langsung memanggil nama sang guru, tanpa menggunakan sapaan 'pak' saat melewati kelas lain yang sedang diajar oleh guru tersebut. Keisengan korban tersebut pun akhirnya berbuah penganiayaan.