REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan PBB, pada Senin (6/11), meminta Myanmar untuk tidak lagi mengerahkan kekuatan militer ke negara bagian Rakhine. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menghentikan gelombang pengungsi Muslim Rohingya dan memulihkan kondisi di Rakhine.
Dalam pernyataannya, Dewan Keamanan PBB menyatakan keprihatinan serius atas mencuatnya laporan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar di Rakhine. "Khususnya terhadap orang-orang yang tergabung dalam komunitas Rohingya," ucapnya.
Dalam laporan disebutkan bahwa pasukan keamanan Myanmar melakukan aksi pembunuhan, pemerkosaan, dan pembantaian brutal terhadap etnis Rohingya. Keterangan ini didapat tak lain dari para pengungsi Rohingya yang kini tinggal di kemah dan tenda-tenda pengungsi di Bangladesh.
Oleh sebab itu, Dewan Keamanan PBB meminta agar Myanmar tak lagi mengerahkan kekuatan militer ke negara bagian Rakhine. "Dewan Keamanan meminta Pemerintah Myanmar untuk memastikan tidak ada lagi penggunaan kekuatan militer berlebihan di Rakhine guna memulihkan pemerintahan sipil dan menerapkan peraturan hukum dan untuk segera melakukan tindakan serta komitmen mereka untuk menghormati hak asasi manusia," kata Dewan Keamanan PBB.
Dewan Keamanan PBB menyatakan bahwa hal ini merupakan tanggung jawab penuh Pemerinthah Myanmar. "Dewan Keamanan menekankan tanggung jawab utama Pemerintah Myanmar untuk melindungi penduduknya, termasuk melalui penghormatan terhadap peraturan undang-undang, promosi, dan perlindungan hak asasi manusia," ujarnya.
Selain itu, Dewan Keamanan PBB meminta Myanmar untuk bersedia bekerja sama dengan semua badan, mekanisme, serta instrumen PBB yang relevan. Permintaan ini berkaitan dengan penolakan Myanmar untuk menerima utusan PBB yang hendak menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat militernya terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine.
Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi telah menjanjinkan pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap Rohingya. Tokoh penerima Nobel Perdamaian itu mengatakan bahwa Myanmar akan menerima kembali pengungsi Rohingya, namun dengan syarat mereka dapat membuktikan bahwa dirinya benar-benar merupakan warga Myanmar.
Hal ini menimbulkan perdebatan karena Myanmar dianggap akan membatasi jumlah pengungsi Rohingya untuk kembali desanya. Sejak kekerasan di Rakhine terjadi pada Agustus lalu, lebih dari 600 ribu Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh.
Hingga saat ini, mereka hanya mengandalkan bantuan kemanusiaan dari dunia internasional untuk menopang kebutuhan hidupnya.