REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Muhammad Siddiq, mengatakan keberatan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi pengosongan kolom agama bagi penganut kepercayaan. Implikasi dari putusan MK tersebut, warga negara yang menganut aliran kepercayaan dapat dicantumkan pada kolom agama di KTP-elektronik (KTP-el).
Siddiq mengatakan, putusan MK tersebut adalah sebuah kemunduran dalam penerapan konstitusi di Indonesia. Karena menurutnya, sebuah agama memiliki defeinisi yang jelas tentang Tuhan, nabi, kitab suci, dan hal lainnya.
Sedangkan, menurutnya, banyak dari aliran kepercayaan dalam banyak hal merujuk pada agama Islam. Misalnya, pada cara menangani jenazah dan pernikahan. "Putusan MK tidak bisa dibenarkan. Ini akan menimbulkan suatu kebingungan dan ketegangan di masyarakat. Karena masyarakat jadi bingung soal agama," kata Siddiq, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (7/11).
Siddiq juga menilai sikap dari Menteri Dalam Negeri RI, Tjahjo Kumolo, tidak sejalan dengan pernyataan sebelumnya. Yang mana, Mendagri sebelumnya mengizinkan kolom agama dikosongkan bagi pemeluk agama lain selain yang sudah diakui negara sebagaimana diatur dalam konstitusi. Dalam hal ini, DDII meminta pemerintah tegas dalam menentukan persoalan agama.
"Saya khawatir ada agenda tersembunyi untuk membingungkan masyarakat beragama. Karena ini soal sensitif, dan bahkan bisa menimbulkan kegaduhan di kalangan masyarakat," tambahnya.
Kebingungan yang nanti akan muncul, menurutnya, tidak hanya soal kepastian agama yang diakui di Indonesia. Melainkan, juga soal tuntutan hak yang nanti akan diminta para penganut aliran kepercayaan.
Para penganut aliran kepercayaan tersebut bisa meminta agar hari besar atau perayaan mereka diakomodasi oleh pemerintah. Dengan demikian, pemerintah perlu mengatur ulang soal hari libur nasional. "Berapa banyak hari libur nanti dari berbagai aliran kepercayaan," lanjutnya.
Selain itu, yang dikhawatirkan para penganut aliran kepercayaan akan meminta pertolongan para kyai atau tokoh agama untuk membantu mereka dalam hal penguburan, hari kelahiran, dan sebagainya. Padahal, dalam prakteknya ajaran mereka tidak sesuai sebagaimana yang diajarkan agama.
"Umumnya mereka merujuk pada Islam. Padahal, tidak sesuai dengan syariat Islam. Karena mereka membuat Tuhan yang lain," jelasnya.
Sebelumnya, pada Selasa (7/11), MK memutuskan mengabulkan permohonan para pemohon uji materi terkait Undang-undang (UU) Administrasi Kependudukan (Adminduk). Kata 'agama' yang ada pada Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk 'kepercayaan'.
Uji materi terhadap pasal-pasal tersebut diajukan oleh empat orang pemohon. Mereka adalah Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim.