REPUBLIKA.CO.ID, BONN -- Perubahan iklim merupakan kenyataaan yang harus dihadapi semua. Segala anomali iklim yang terjadi menuntut aksi nyata semua pihak.
"Ini adalah kenyataan yang harus kita hadapi. Kita harus bekerja dan melangkah bersama,'' kata Perdana Menteri Fiji, Frank Bainimarama mengawali pertemuan tahunan Konferensi Bersama di bawah kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB (COP23-UNFCCC), Selasa (7/11) lalu.
COP23 ini merupakan kelanjutan pertemuan perubahan iklim di Prancis pada 2015 lalu (COP21) dan Maroko pada 2016 (COP22). Meski tuan rumah acara ini adalah Fiji, acara digelar di Bonn, Jerman. Pertemuan tahun ke tiga ini akan fokus pada rumusan langkah penanganan perubahan iklim sebelum 2020.
PBB menyebut, 2017 masuk dalam tiga tahun terpanas bumi. Suhu bumi tahun ini akan sedikit di bawah rekor tertinggi 2016 atau kemungkinan sama seperti 2015.
Kepala Organisasi Metereologi Dunia PBB (WMO) Petteri Talaas mengatakan, salah satu pemicu pemanasan global jangka panjang adalah gas rumah kaca hasil pembakaran bahan bakar fosil. Badai di Atlantik dan Karibia juga banjir akibat muson di Asia dan kekeringan di Afrika merupakan bukti anomali cuaca, demikian dilansir Reuters, Selasa (7/11).
WMO menyatakan, kondisi ini sedikit di bawah prediksi akibat efek El Nino yang melepas panas berlebih dari Samudera Pasifik pada 2016. Dari sisi ekonomi, 2017 akan jadi musim badai paling menguras anggaran terutama setelah terjadinya badai Harvey, Irma, dan Maria.
Para delegasi mengatakan, suhu dan cuaca ekstrim menunggu penanganan konkret dalam pertemuan perubahan iklim tahunan yang kali ini digelar di Bonn, Jerman pada 6-17 November 2017. Ada 200 negara yang hadir, kecuali AS yang memutuskan keluar dari konvensi ini.