Rabu 08 Nov 2017 09:02 WIB

'Penghayat Kepercayaan Bisa Protes Jika Masih Dikucilkan'

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Andi Nur Aminah
 Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI), Thamrin Amal Tomagola, mengatakan akan ada perubahan besar pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengakuan bagi penghayat kepercayaan. Para penghayat kepercayaan dapat menuntut hak sipil mereka pascaputusan itu.

"Perubahan terutama terkait status sipil mereka dan hak sipil mereka. Penghayat kepercayaan diakui dan kemudian mereka bisa membuat KTP-el (rekam data KTP-el)," ujar Thamrin kepada wartawan usai diskusi di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (7/11).

Setelah punya KTP-el, maka mereka dapat mengurus sejumlah haknya, seperti kartu kesehatan, BPJS, kartu pintar dan sebagainya. "Ini langkah kemajuan yang bagus di mana penghayat kepercayaan bisa memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya," lanjut Thamrin.

Selain itu, jika masih ada pengucilan terhadap mereka, maka bisa melapor kepada bupati, wali kota atau pemimpin daerah setempat. Kepemilikan KTP-el dan pengakuan di kolom agama yang ada pada kartu tersebut dapat menguatkan argumen para penghayat kepercayaan.

"Mereka bisa saja dikucilkan, tapi setiap kali mereka dikucilkan, mereka bisa lapor bupati, wali kota bahwa saya WNI lho, saya punya KTP-el, kok saya diperlakukan begini?. Jika selama ini mereka diam dan tidak bisa protes, sekarang mereka bisa protes," tutur Amal.

Sementara jika masih ada masyarakat yang menolak keberadaan mereka, Thamrin menilai negara sudah menunjukkan sikapnya lewat putusan MK. Masyarakat harus memahami bahwa putusan itu bersifat mengikat dan tidak bisa ditinjau kembali. "Para penghayat kepercayaan bisa juga semakin mendukung pemerintah, juga NKRI dan Pancasila," tegas Thamrin.

Sebelumnya, pada Selasa (7/11), MK memutuskan mengabulkan permohonan para pemohon uji materi terkait Undang-undang (UU) Administrasi Kependudukan (Adminduk). Kata 'agama' yang ada pada Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk 'kepercayaan'.

Uji materi terhadap pasal-pasal tersebut diajukan oleh empat orang pemohon. Mereka adalah Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, mengatakan pihaknya akan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi pengosongan kolom agama bagi penganut kepercayaan. Kemendagri akan segera berkoordinasi dengan Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk memgetahui data kepercayaan yang ada di Indonesia.

"Berkaitan dengan Putusan MK dalam pengujian undang-undang administrasi kependudukan terkait pengosongan kolom agama yang dikabulkan oleh MK maka, maka kami akan melaksanakan putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut," ujar Tjahjo dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (7/11).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement