Rabu 08 Nov 2017 10:57 WIB

Penganut Kepercayaan Ingin Tunjukkan Identitas Diri

Rep: Issha Harruma, Ronggo Astungkoro/ Red: Elba Damhuri
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (tengah) didampingi Majelis Hakim MK Anwar Usman (kiri) dan Manahan MP Sitompul (kanan) memimpin sidang dengan agenda pembacaan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/11).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (tengah) didampingi Majelis Hakim MK Anwar Usman (kiri) dan Manahan MP Sitompul (kanan) memimpin sidang dengan agenda pembacaan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/11).

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi hak bagi penganut kepercayaan mengisi kolom agama pada kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP) mendapatkan sambutan positif penghayat kepercayaan. Salah satunya datang dari para penganut Ugamo Malim di Sumatra Utara, Parmalim.

"Bagus itu. Selama ini kan enggak boleh ditulis," kata tokoh Parmalim, Monang Naipospos, Selasa (7/11).

Monang mengatakan, putusan MK itu memberikan kesempatan bagi penganut kepercayaan untuk mengenalkan identitasnya. Dia berharap keputusan tersebut dapat diimplementasikan di instansi-instansi lain sehingga memudahkan mereka dalam menjalani berbagai proses administrasi.

Salah satu contohnya, kata Monang, yakni dalam hal pengisian administrasi melalui sistem daring. Selama ini, para penganut kepercayaan cukup kesulitan karena tidak ada pilihan untuk mengisi kolom agama di luar pilihan yang sudah tersedia. Hal itu berbeda dengan proses administrasi manual di mana pada formulir masih tersedia pilihan “lain-lain”.

"Keinginan kami, kesetaraan dan persamaan hak untuk apa pun kesempatan di Indonesia. Ini baru identitas di KTP dan mungkin administrasi lainnya. Anggaplah sekarang dapat ditulis di KTP, tetapi belum bisa masuk polisi atau masuk tentara karena di sana masih ada peraturan enam agama," ujar dia.

Monang menyebutkan, saat ini ada sekitar 9.000 penganut Parmalim di seluruh Indonesia. Ugamo Malim ini terutama dianut oleh suku Batak Toba dan merupakan kepercayaan asli suku Batak. Dia pun menilai jalan untuk mencapai kesetaraan yang mereka impikan masih panjang.

"Jadi, aplikasinya nanti yang penting. Bukan berarti kami senang-senang. Masih banyak lagi yang harus dilalui," kata Monang.

Untuk diketahui, MK mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Dengan putusan tersebut, para penganut kepercayaan diberi hak untuk mengisi kolom agama pada KK dan KTP mereka. Lewat putusan itu juga, tak ada lagi perlakuan berbeda terhadap para penganut kepercayaan.

MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan para pemohon uji materi terkait Undang-undang (UU) Administrasi Kependudukan (Adminduk). Kata “agama” yang ada pada Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk “kepercayaan”.

"Majelis hakim mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Hakim MK Arief Hidayat ketika membacakan putusan di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11).

Arief melanjutkan, majelis hakim menyatakan, kata agama dalam Pasal 61 ayat (1) dan 64 ayat (1) UU Nomor 23/2006 tentang Adminduk bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan". Majelis hakim juga menyatakan, pasal 61 ayat (2) dan 64 ayat (5) bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Uji materi terhadap pasal-pasal tersebut diajukan oleh empat orang pemohon. Mereka adalah Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim. Dalam alasan permohonannya, menurut mereka, pasal-pasal itu bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan warga negara di hadapan hukum. Itu karena dalam rumusannya tertulis, kartu keluarga (KK) dan KTP-el memuat elemen keterangan agama di dalamnya, tetapi khusus bagi penganut kepercayaan kolom agama tersebut dikosongkan.

Ketentuan pengosongan kolom agama bagi penganut kepercayaan itu telah menyebabkan terlanggarnya hak-hak dasar mereka. Hal itu juga membuat panganut kepecayaan tidak bisa mengakses dan mendapatkan hak-hak dasar lainnya, seperti hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas jaminan sosial beserta dengan seluruh layanannya. Mereka juga menganggap hal itu sebagai bentuk diskriminasi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement