REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia berencana membangun kemitraan dengan sejumlah perusahaan asal Australia untuk mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar (fuel).
Pernyataan itu disampaikan oleh Asisten Deputi Pendayagunaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Kementerian Koordinator Maritim, Nani Hendiarti di sela acara "Forum Para Pemimpin (TLF) ke-14 mengenai Pengelolaan Lahan Terpadu untuk Mengurangi Sampah Laut demi Pembangunan Masyarakat Berkelanjutan".
Forum seminar dan tukar pendapat itu diadakan oleh pegiat lingkungan The Nature Conservancy (TNC) Indonesia di Jakarta, Rabu (8/11).
"Kami kemarin sudah ada pembicaraan dengan Australia, akan ada perusahaan yang masuk. Dikarenakan mengubah sampah menjadi energi (waste to energy) itu berat, maka alternatifnya, sampah plastik ke bahan bakar (waste plastic to fuel) dengan menggunakan teknologi pyrolysis," kata Nani.
Asisten Deputi yang juga seorang peneliti kelautan itu menjelaskan, setidaknya perusahaan akan membutuhkan 50 ton sampah plastik per hari untuk menghasilkan bahan bakar.
"Dia (perusahaan pengelola) tidak butuh banyak, hanya 50 ton per hari, proyeksinya (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar Gebang dapat dijadikan sumber produksi bahan bakar. Intinya begini, kita harus berpikir solusi jangka pendek yang mudah dilakukan dan bisa segera dilaksanakan," tambahnya.
Sejauh ini, Nani menjelaskan, pemerintah Indonesia telah berupaya mengurangi sampah plastik dengan mengolahnya menjadi tar, bahan pembuatan aspal untuk pembangunan jalan dan lintasan tol.
"Program pembuatan tar aspal jalan dari plastik atau Plastic Tar Road yang dipimpin oleh (Kementerian) Pekerjaan Umum telah dilakukan di sejumlah daerah seperti Bali, Bekasi, Surabaya, Makassar, Cilincing, Medan, Jalan Tol Merak, dan tahun depan rencananya Solo. Aksi itu terus berkembang, tujuannya untuk mengatasi masalah sampah plastik yang tidak lagi bernilai," ujar Nani.
Sebelumnya, ia menyebut, Presiden Joko Widodo dalam Temu Puncak Pemimpin Negara G20 di Jerman, Juli lalu mengatakan, Indonesia berkomitmen mengurangi limbah melalui aksi 3R (Reuse-Reduce-Recycle) sebanyak 30 persen dan mengurangi sampah plastik di laut (marine debris) sebanyak 70 persen pada 2025.
"Tindak lanjut dari komitmen itu adalah penetapan Rencana Aksi Nasional dan pembuatan Peraturan Presiden (Perpres)," jelas Nani.
Isi dari Rancangan Aksi Nasional itu terdiri atas empat hal, antara lain, perubahan perilaku, mengurangi sampah plastik dari darat, mengurangi buangan dari aktivitas di laut, dan meningkatkan penegakan hukum, seraya menguatkan program penelitian dan pengembangan.
Berpijak pada rancangan aksi itu, pemerintah, menurut Nani telah melakukan sejumlah aktivitas, diantaranya menggiatkan sosialisasi dan kampanye ke masyarakat, membuat sejumlah program uji coba, serta mengadakan kolaborasi, dan kemitraan khususnya di bidang penelitian.
Sementara itu, mengenai payung hukumnya, Nani menjelaskan, sejauh ini proses pembuatan Perpres tengah memasuki tahap harmonisasi akhir.
"Perpres belum keluar karena masih ada yang harus diharmonisasi, masih empat program kegiatan yang belum tuntas, salah satunya terkait industri dan lingkungan hidup. Harmonisasi akhir itu artinya,jika ini nanti jalan, kita ingin itu sustain (berkelanjutan), makanya semua kegiatan dipastikan berjalan dari hulu ke hilir, seperti misalnya terkait kerja sama antarkementerian," tambahnya.
Ia menerangkan, harmonisasi aturan penting diselesaikan, karena kegiatan mengurangi sampah lautan melibatkan setidaknya 16 kementerian dan lembaga negara.
"Satu kegiatan tidak mungkin hanya melibatkan satu lembaga, karena aktivitas itu akan bersinggungan dengan lembaga lain, misalnya program plastik berbayar akan terkait dengan kementerian keuangan, juga perindustrian. Itu harus pelan-pelan karena agak berat. Namun, kita targetnya akhir tahun ini rampung, karena kita sudah intens sekali menggarap kegiatan hingga per topiknya," jelas Nani.
Sementara itu, TNC sebagai penyelanggara diskusi menjelaskan, acara dengar pendapat antara pemerintah dan sektor usaha penting dilakukan demi mendapatkan berbagai sumbangan pemikiran seraya meningkatkan pemahaman mengenai isu sampah laut di Indonesia.
"Tantangannya saat ini, sampah telah menjadi isu global yang membutuhkan kerja sama berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor usaha, dan kelompok masyarakat. Sejak tahun lalu, TNC telah bermitra dengan pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah sampah di laut. Meski demikian, selain menjalankan berbagai program yang sporadis, kita butuh langkah yang lebih terpadu, melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor privat, lembaga swadaya masyarakat, serta kelompok masyarakat lain," kata pegiat lingkungan itu dalam forum.
Studi terakhir, TNC menambahkan, telah menunjukkan, jutaan ton sampah plastik telah mencemari lautan Indonesia.
"Indonesia kemungkinan telah menjadi penyumbang sampah terbesar di kawasan Asia Tenggara, dan kedua terbanyak dunia setelah Cina. Penelitian seorang peneliti, Jenna Jamback pada 2015 memperlihatkan 3,2 juta ton sampah plastik ditemukan di lautan Indonesia pada 2010," tambahnya.