REPUBLIKA.CO.ID, Seorang perempuan paruh baya sedang duduk di tepi Jalan Tenaga Listrik, Jakarta Pusat. Ia duduk di bawah bayangan tembok pembatas antara jalan dan Sungai Ciliwung, berlindung dari panasnya matahari siang itu.
Perempuan paruh baya itu bernama Rahayu, ia tinggal di salah satu rumah semi permanen yang ia bangun sendiri. Rumah itu sangat sederhana, hanya beratapkan terpal bekas yang dikaitkan ke tembok pembatas ke jalur kereta.
Rahayu telah tinggal di tempat tersebut sejak 2011. Sebelumnya, ia hidup berpindah-pindah sejak merantau dari kampung halamannya, Demak, Jawa Tengah. Akhirnya, perempuan berusia 57 tahun itu menetap cukup lama di Kanal Banjir Barat, Jalan Tenaga Listrik Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Di samping rumahnya, terdapat sebuah kompor sederhana terbuat dari susunan batu bata. Di antara susunan batu bata itu, ia masukan kayu bakar sebagai sumber api. Saat itu, ia sedang memasak air untuk membuat kopi. "Sehari-hari saya mulung. Kadang ngurut. Dari dulu saya sering ngurut orang," cerita Rahayu.
Tidak jauh dari kompor sederhana buatannya, ia mengumpulkan kaleng bekas, plastik, serta barang lainnya yang ia temukan. Ketika sudah banyak, ia akan menjualnya ke pengepul yang lokasinya tidak jauh dari tempatnya tinggal.
Alex, salah satu penghuni permukiman kumuh Kanal Banjir Baru adalah salah satu pemulung yang selalu bekerja di siang hari. Ketika sampah yang ia kumpulkan sudah banyak, ia akan membawanya ke pengepul.
"Biasanya seminggu baru dibawa ke pengepulnya," kata Alex, yang saat ditemui sedang bersiap mendorong sampah hasil buruannya.
Kebanyakan dari masyarakat permukiman kumuh Kanal Banjir Barat memang bekerja sebagai pemulung. Ketika didatangi Republika pada Rabu (8/11) siang, terlihat beberapa orang mendorong karung berisi plastik dan barang bekas lainnya dengan gerobak. Akan tetapi, ada juga warga yang membuka warung kelontong.
Beberapa waktu lalu, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan akan menggusur permukiman kumuh di Kanal Banjir Barat. Rahayu pun mengaku sudah didatangi pihak pemerintah dan dikabarkan akan digusur.
Ia tidak terlalu mempermasalahkan penggusuran tersebut karena sudah biasa digusur. "Ya sudah, diterima dengan lapang dada. Saya tinggal di sini juga harus tahu diri," ungkap dia.
Rahayu pun sadar bahwa lahan tempatnya tinggal bukanlah lokasi ilegal. Sejak ia tinggal pada 2011 ia sudah sering digusur. Ia juga menambahkan, khususnya pada era mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, penggusuran sering dilakukan dan dengan cara yang kasar.
"Sekarang kan gubernurnya baru. Dulu zaman Ahok itu, wih, kasar banget yang gusur. Semuanya diangkutin. Tiba-tiba enggak diberi tahu dulu," ungkapnya.
Sebenarnya, ia tak masalah dengan penggusuran, asalkan dengan cara yang sopan. "Kalau yang gubernur baru ini sopan. Jadi ya sudah. Saya terima digusur," lanjut dia.
Walaupun demikian, sampai saat ini Rahayu masih bertahan di gubuk sederhananya. Sedangkan menurutnya, beberapa tetangganya sedang bingung mencari kontrakan. "Kontrakan biasanya Rp 600 ribu satu kamar. Kamar kecil, kalau anaknya banyak ya sempit. Kalau saya masih di sini. Nanti kalau digusur ya pindah dulu, nanti ke sini lagi bangun gubuk lagi," ungkapnya.
Hal yang sama diungkapkan Alex. Ia mengaku akan bertahan sampai benar-benar digusur. "Saya sih bertahan aja, kalau digusur nanti sementara pindah terus ke sini lagi," katanya.
Alex dan Rahayu, serta kebanyakan warga sekitar permukiman kumuh Kanal Banjir Barat tidak memiliki KTP atau surat lainnya. Ketika digusur pun mereka tidak bisa melawan. Namun, mereka sudah mempersiapkan penggusuran dengan cara-cara tertentu.
Kebanyakan dari mereka memiliki gubuk tanpa banyak kayu penyangga. Alasannya supaya ketika digusur mereka tidak rugi. "Ini saya biarin aja sampai jelek. Nanti kalau digusur yang diselamatkan cuma baju dan apa yang bisa dijual. Nanti kan diangkut gubuknya, habis itu ya bikin baru lagi. Enggak rugi kan gubuknya juga jelek," ungkap Rahayu.
Rahayu juga menambahkan, alasannya tidak membeli kompor yang layak dan hanya menggunakan batu bata adalah penggusuran yang sering. Ketika hanya batu bata yang diangkut oleh petugas, ia tidak rugi dan bisa membuat kompor lagi.
Siang hari sekitar pukul 14.00, terlihat masyarakat permukiman kumuh Kanal Banjir Barat sedang bersantai, mengobrol satu sama lain. Menghadapi penggusuran yang entah kapan akan dilakukan, mereka pun tidak bisa melakukan apa-apa selain patuh. Kemampuan mereka untuk bertahan hidup kembali diuji ketika gubuk milik mereka diangkut.
Kebanyakan dari mereka adalah warga dari luar Jakarta dan tidak memiliki KTP karena hilang entah kemana. Apabila harus membuat KTP, harus kembali ke daerah asal dan tentunya ongkosnya tidaklah murah. Mereka pun hanya bisa pasrah ketika digusur dan berharap bisa kembali di tempat semula ketika situasi sudah aman.