REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq menjadi pembicara dalam diskusi publik "Gus Dur dan Pencegahan Ekstremisme Kekerasan" di Kantor Wahid Foundation, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (9/11). Dalam paparannya, ia mengatakan bahwa untuk mencegah ekatremisme kekerasan di Indonesia, Almarhum Abdurrahmad Wahid (Gus Dur) sebenarnya telah mengajarkan Islam welas Asih.
"Islam yang diyakini Gus Dur adalah Islam welas asih, menolak kekerasan dan mengedepankan dialog," ujarnya.
Melalui pribadi Gus Dur, bisa dilihat bahwa Islam telah diterjemahkan sebagai ajaran welas kasih. Ia mencontohkan, seperti halnya saat Gus Dur menyikapi kelompok yang menganut paham wahabi, menurut dia, Gus Dur ingin mengatakan bahwa kebencian terhadap suatu kelompok bukan berarti menegasikan hak hukumnya.
"Gus Dur juga selalu membangun empati dari korban kekerasan," ucapnya.
Sementara, Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ), Musdah Mulia mengatakan bahwa dalam menangani ekstremisme kekerasan, pemerintah saat ini lebih menonjolkan aspek keamanan. Padahal, menurut dia, pemikiran dasar ektremisme tersebut harus diwaspadai sejak dalam pikiran.
"Kita selalu mengabaikan pemikiran dasar bahwa pikiran-pikiran dasar ekstremisme dan radikalisme itu harus selalu diwaspadai sejak dalam pikiran," katanya.
Sebagai salah satu aktivis perempuan NU, Musdah melihat sosok Gus Dur yang sangat tidak suka dengan kekerasan dalam bentuk apapun. Menurut dia, Gus Dur justru mampu menyelesaikan masalah dengan humor-humornya yang tinggi. "Gus Dur tidak pernah memaki balik, paling Gus Dur membuat makian yang bisa buat kita ketawa. Bagi saya humornya itu tingkat tinggi, tingkat langit," katanya.