REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Para sekutu Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Rabu (8/11), mendukung rencana pendirian dua markas militer baru yang akan melindungi Eropa saat terjadi konflik dengan Rusia. Keputusan tersebut meletakkan dasar bagi perluasan terbesar persekutuan militer itu dalam beberapa dekade.
Dengan harapan untuk menambah faktor pencegah terhadap Rusia, para menteri pertahanan NATO sepakat membentuk sebuah komando Atlantik dan sebuah komando logistik untuk dapat melancarkan tindakan lebih cepat terhadap ancaman-ancaman di Eropa.
"(Pendirian markas) ini penting bagi persekutuan transatlantik kita. Ini menyangkut soal bagaimana menggerakan kekuatan di seluruh Atlantik dan bagaimana menggerakkan kekuatan di seluruh Eropa," kata Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg dalam jumpa pers.
Biaya pendirian markas belum akan dibahas sampai 2018 namun pembangunan kedua markas baru telah mendapat dukungan luas. Kedua pusat komando baru itu juga menunjukkan pusat perhatian NATO terhadap tugas tradisionalnya, yaitu menjaga wilayah setelah operasi-operasi yang dijalankannya di Balkan, Libya dan Afghanistan dalam beberapa tahun belakangan ini.
Jerman sangat ingin menjadi tuan rumah keberadaan komando logistik, kata beberapa diplomat, mengingat lokasinya yang stragis melintas Eropa tengah. Lokasi tersebut memungkinkan pergerakan peralatan dan personel menuju perbatasan bisa berlangsung cepat saat konflik terjadi.
Negara-negara maritim seperti Portugal, Spanyol, Prancis dan Amerika Serikat bisa menjadi lokasi komando Atlantik, menurut para diplomat. Namun, keputusan soal itu belum diambil.
Dalam tanggapan terhadap pencaplokan yang dilakukan Rusia pada 2014 terhadap semenanjung Krimea milik Ukraina, NATO sudah menempatkan pasukan secara bergilir di Polandia negara-negara Baltik serta memperkuat keberadaanya di Laut Hitam dan berupaya memodernisasi pasukannya.
Rusia telah meningkatkan patroli angkatan lautnya di Laut Baltik, Atlantik utara dan Arktik serta mengerahkan kapal-kapal selam, kata sejumlah pejabat NATO, kendati kekuatan angkatan laut negara itu saat ini lebih kecil dibandingkan masa Perang Dingin.