REPUBLIKA.CO.ID, Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) merupakan lembaga yang bertugas mengoordinasikan mobilisasi sumber daya Tanggap Darurat Bencana, Mitigasi, dan Kesiapsiagaan Bencana, serta rehabilitasi pascabencana. Lembaga ini merupakan amanah Muktamar Muhammadiyah ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta.
Sebagai Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) PP Muhammadiyah, memang dituntut dapat menampilkan komitmen dalam mengoptimalkan manfaat program-programnya. Tujuannya, tidak lain agar dampak nyatanya dapat dirasakan seluruh lini di Indonesia, baik dalam bantuan, penanggulangan, rehabilitasi, sampai kesiapsiagaan.
Walau belum merata, kehadiran MDMC sudah mulai memunculkan orang-orang yang memahami pentingnya masyarakat memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana. MDMC turut mengikuti perubahan paradigma Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jika penanggulangan harus pula mempersiapkan pengurangan risiko bencana.
Ketua MDMC, Budi Setiawan, mengatakan demi memenuhi itu dibentuklah Pengurangan Risiko Bencana dan Kesiapsiagaan (PRBK), dengan misi utama memberikan kesadaran tentang pentingnya kesiapan masyarakat menghadapi bencana. Namun, penguatan ini memang baru bisa menyentuh masyarakat jika terjadi bencana.
Semisal, saat terjadi banjir di Garut tahun lalu, MDMC turut menggerakkan warga untuk turut membantu proses evakuasi, sehingga mulai timbul kesadaran jika mereka terkena banjir bisa teratasi. Saat terjadi longsor di Sumedang, MDMC malah diminta melakukan pendampingan kepada masyarakat yang mengungsi.
"Lewat pintu itu, masyarakat diedukasi betapa pentingnya mengurangi risiko bencana, pentingnya masyarakat memiliki kesadaran dalam kesiapsiagaan, dan ternyata ini bisa kita lakukan dengan baik," kata Budi, kepada Republika, Selasa (7/11).
Dari sisi lain, program-program MDMC seperti masyarakat tangguh bencana dan pendampingan kepada masyarakat untuk aktif membantu rumah sakit senantiasa dilakukan. Pengalaman saat terjadinya gempa di Yogyakarta, banyak rumah sakit yang bobol karena mendadak didatangi begitu banyak pasien.
Sedangkan, masyarakatnya hanya menonton tanpa melakukan bantuan secara aktif lantaran tidak memiliki kesadaran serta kemampuan medis dasar yang memadai. Dari situ, LPB PP Muhammadiyah menyusunnya dalam program masyarakat tangguh bencana, dan masyarakat disiapkan untuk dapat membantu rumah sakit jika terjadi bencana.
Hal itu sudah berjalan di beberapa tempat, seperti saat erupsi Merapi pada 2010, masyarakat sekitaran kaki Merapi disiapkan membaca potensi bencana. Sosialisasi itu disampaikan baik secara langsung kepada masyarakat, maupun lewat jejaring-jejaring keorganisasian Muhammadiyah.
Aspek ini yang dirasa menjadi salah satu nilai lebih Muhammadiyah, mengingat jejaringnya begitu merata sampai seluruh Nusantara, sehingga apa yang dilakukan MDMC bisa sampai ke bawah. Terbukti saat banjir Bima, masyarakat bisa diubah menjadi masyarakat yang siap menghadapi bencana.
Saat ini, proses pelatihan terus berlangsung, Desember nanti rencananya akan ada gladi untuk dilanjutkan ke gladi lapangan pada Januari. Langkah ini dilakukan MDMC di banyak tempat, termasuk Palangkaraya, sehingga pemahaman bencana sebagai peristiwa alam yang merugikan bisa dibalik.
Satu bulan terakhir, MDMC turut mendampingi pengungsi yang ada di sekitar Gunung Agung, Bali, dengan standar Preparing to Excel in Emergency Response (PEER), sehingga dilakukan perbaikan-perbaikan. Terakhir, usai diumumkan penurunan status, mereka yang ada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) berkumpul di lokasi MDMC.
"Sekaligus kita edukasi masyarakat menghadapi bencana, sebab kalau mengerti potensi bisa meminimalisir kepanikan, kalau masyarakatnya kuat, fenomena alam seperti apapun kita bisa hadapi," ujar Budi.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, pola pikir memang masih menjadi masalah utama dalam upaya-upaya menguatkan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana. Karenanya, penting menyadarkan kalau banyak kerugian yang bisa dihindarkan, baik harta maupun jiwa, yang kadang penyadarannya memang harus masuk ketika bencana itu terjadi.
Banjir di Purworejo jadi contohnya, bagaimana masyarakat tidak siap menghadapi bencana yang terjadi, sehingga begitu banyak surat-surat penting yang hilang. Setelah mendapatkan edukasi, masyarakat perlahan mulai menyadari, jika sudah siap banyak surat-surat yang bisa diamankan melalui tindakan preventif.
Permasalahan pola pikir memang tidak terkooptasi desa atau kota, mengingat tidak sedikit masyarakat perkotaan yang mengalami persoalan serupa. Banjir di Bukit Duri, Jakarta, misalnya, yang walau sudah rutin terjadi ternyata masyarakat baru mengungsi saat air sudah mencapai setidaknya mata kaki.
Padahal, jika mereka mengungsi lebih awal ketika Bendung Katulampa siaga satu, begitu banyak surat-surat berharga yang dapat diselamatkan. Belum lagi, mereka bisa membawa bekal lebih banyak, bisa tidur dengan peralatan sendiri, sehingga tidak dihujani berbagai kesulitan ketika mengungsi.