REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penolakan dai atau penceramah di beberapa daerah harus menjadi perhatian serius dari pemerintah. Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU Ahmad Suaedy mengatakan, pemerintah harus tegas dalam menegakkan dai yang memang diduga merongrong Negara Kesatuan Republika Indonesia (NKRI).
Menurut dia, dulu dai yang dalam ceramahnya menyampaikan ujaran kebencian kepada kelompok lain dibiarkan saja, dan begitu juga yang mengkafir-kafirkan dengan mengancam golongan lain. Namun, menurut dia, saat ini penegak hukum harus melakukan pencegahan itu.
"Saya bilang kalau memang melanggar, hukum ya harus ditegakkan. Misalnya, mengkafirkan orang dengan cara mengancam itu nggak boleh," ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis (9/11) kemarin.
Banser sebagai organisasi pemuda NU akhir-akhir ini memang kerap menolak penceramah yang diduga merongrong NKRI dan dai yang masih mengampanyekan khilafah. Karena, jika pemerintah sendiri yang melakukan itu, maka pemerintah akan dituding sebagai anti Islam.
Suaedy mengaku, dalam hal ini dirinya bukan berarti membela Banser, karena semua kasus itu tergantung penegak hukumnya. "Saya tidak membela Banser, kalau misalnya Banser melapor ke polisi bahwa ini akan membahayakan itu tergantung polisi juga. Jadi, polisi juga bisa melindungi kalau memang tidak terbukti," ucapnya.
Menurut dia, penolakan terhadap dai atau penceramah itu sebenarnya sah saja dilakukan. Yang tidak boleh, kata dia, yaitu jika sampai membubarkan atau pun menurunkan dai tersebut dari podium.
"Yang tidak boleh saya kira orang misalnya di panggung diturunkan, diancam misalnya, itu yang nggak boleh. Tapi kalau melapor ke polisi bahwa ini secara historis pernah begini-begini (merongrong NKRI) itu boleh. Yang penting kan sikap polisinya sebenarnya," katanya.
"Jadi semua pihak harus menahan diri. Dakwah silakan dakwah, tapi tidak dengan hate speech," imbuhnya.