REPUBLIKA.CO.ID, 10 kilometer sebelah utara Israel terletak sebuah kamp pengungsi Palestina terbesar di Tirus, Lebanon. Kamp itu bernama Rashidieh. Rashidieh, awalnya dibangun oleh orang Prancis pada 1936 untuk pengungsi Armenia. Lalu Rashidieh "baru" dibangun pada 1963 oleh UNRWA, sebuah badan pembangunan bantuan dan manusiauntuk menampung pengungsi Palestina yang dievakuasi dari Baalbek. Dan sekarang, Rashidieh telah menjadi rumah bagi kelompok pengungsi baru, orang-orang Palestina yang dulu tinggal di Suriah.
Dilansir dari Middle East Monitor, para pengungsi yang tiba di kamp berarti telah lolos dari kekerasan di Suriah. Hanya saja, hidup mereka jauh dari kata tenang saat berada di Lebanon.
Pejabat yang bertanggung jawab untuk memantau dan menangani semua pengungsi Suriah di Ban, Ghazzi, mengatakan, warga Palestina di Suriah hidup dalam kondisi prima, tidak ada perbedaan antara orang-orang Palestina dan etnis Syria.
Seorang Palestina di Suriah dapat bekerja dalam profesi yang sama dengan orang Suriah. Ia dapat memiliki perusahaannya sendiri, menjadi dokter, atau mengejar karir yang dia inginkan.
"Tidak ada perbedaan dalam semua aspek: sosial, ekonomi dan politik antara pengungsi Palestina dan orang-orang Syria, tapi di sini di Lebanon, orang-orang Palestina diperlakukan jauh lebih buruk, "kata Ghazzi.
Warga Palestina yang tinggal di kamp serta yang tinggal di seluruh negeri sepenuhnya mengandalkan pemerintah Lebanon dan tentara, dan tunduk pada peraturan dan Lebanon. Misalnya, orang-orang Palestina di Lebanon secara hukum dilarang memiliki properti apapun atau memasuki pekerjaan tertentu, mulai dari tata rambut hingga pegawai negeri termasuk sebagai bagian dari dinas keamanan.
"Kehidupan di Suriah sejuta kali lebih baik dari sini. Kami memiliki semua yang kami inginkan, aku punya dua rumah," kata Nabila Abu Juwaid, yang pindah dari Suriah ke Rashidieh enam tahun yang lalu bersama suami dan anak-anaknya.
Nabila dan keluarganya tinggal di sebuah rumah kecil yang disewa dari warga Palestina yang telah meninggalkan kamp tersebut, seperti yang terjadi pada sebagian besar pengungsi yang telah melarikan diri dari Suriah yang dilanda perang. UNRWA membantu mereka membayar sewa rumah setiap bulannya.
Rumah kontrakan Nabila terlalu kecil untuk keluarga dengan jumlah delapan orang. Kabel menjuntai dari dinding kotor, dan kamar berukuran kotak yang menyerupai sel penjara. "Ini bukan cara bagi anak-anak untuk tumbuh dewasa, tidak ada jalan bagi siapa pun untuk hidup," katanya.
Nabila mengatakan, saat di Suriah, ia tinggal di kamp Al-Yarmouk. Suatu hari kamp tersebut dibom dan delapan anak yang tinggal di dekat rumahnya terbunuh. Untungnya, tidak ada keluarga Nabila yang terluka, tapi begitu roket menghantam, rumahnya hancur. Untuk itu, Nabila memutuskan untuk meninggalkan Suriah.
Nabila memilih untuk pindah ke Rashidieh karena suaminya memiliki keluarga yang telah melarikan diri dari Suriah dan menetap di kamp tersebut. "Bagian terburuknya adalah kita bahkan tidak diterima di sini. Orang-orang di sini membenci kita, seolah-olah kita bukan orang Palestina sama seperti mereka," katanya.