Jumat 10 Nov 2017 19:11 WIB

Gerak Cepat Industri Keuangan Syariah

Rep: Binti Sholikah, endah hapsari/ Red: Budi Raharjo
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (tengah) sebelum memberi pemaparan tentang Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) saat penutupan seminar pembiayaan infrastruktur dengan skim syariah dalam acara Indonesia Shari'a Economic Festival (ISEF) 2017 di Grand City, Surabaya, Jawa Timur, JUmat (10/11).
Foto: Yasin Habibi/ Republika
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (tengah) sebelum memberi pemaparan tentang Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) saat penutupan seminar pembiayaan infrastruktur dengan skim syariah dalam acara Indonesia Shari'a Economic Festival (ISEF) 2017 di Grand City, Surabaya, Jawa Timur, JUmat (10/11).

REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Seiring dengan perkembangan pesat ekonomi digital, industri keuangan syariah pun turut bergerak cepat mengimbangi. Terlebih belakangan lembaga keuangan syariah kian banyak bermunculan di Tanah Air.

Saat ini setidaknya terdapat 13 bank umum syariah, 21 unit usaha syariah, 167 bank perkreditan rakyat syaruah, 58 asuransi syariah, tujuh modal ventura syariah dan 5.000 lembaga keuangan mikro syariah.

"Kalau fintech dikembangkan bisa membantu beroperasinya lembaga-lembaga tadi. Karena dari sisi nasabah hanya 23 juta nasabah atau 8,8 persen dari penduduk Indonesia," ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia, Sugeng, yang ditemui dalam rangkaian acara Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2017, di Grand City Convex, Surabaya, Jumat (10/11).

Untuk meraih peluang tersebut, menurutnya, peran industri keuangan syariah perlu didorong untuk penguatan kelembagaan keuangan syariah dan meningkatkan intensitas sosialisasi kepada masyarakat mengenai keuangan syariah. Selain itu, juga penting dilakukan adopsi teknologi sehingga mendorong munculnya perusahaan teknologi keuangan (fintech) berbasis syariah.

Bahkan, tak menutup peluang adanya kerja sama antara lembaga keuangan berbasis syariah dan para pelaku fintech. "Kita tidak bisa mengabaikan perkembangan fintech. Karena pengaruhnya terhadap peningkatan efisiensi dan kecepatan layanan. Solusi bagi lembaga keuangan syariah untuk dapat bersaing adalah bagaimana menjadi lebih murah, lebih mudah, dan lebih cepat. Salah satunya dapat dicapai dengan mengaplikasikan fintech secara tepat dan berimbang," paparnya.

Sugeng menambahkan, BI melihat peluang penerapan fintech syariah melalui pendekatan tiga pilar pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Pertama, pemberdayaan ekonomi syariah terutama penguatan aspek kelembagaan infrastruktur fintech syariah.

Kedua, peningkatan efisiensi pasar keuangan dengan penerapan fintech secara efisien dan tepat guna. Selain itu, adanya peningkatan riset dan edukasi melalui alih pengetahuan kepada lembaga keuangan syariah di Indonesia serta peningkatan pemahaman masyarakat pada umumnya.

Perkembangan industri fintech dalam negeri terbilang pesat. Bahkan, jenis usaha para pelaku fintech pun kian beragam. Industri fintech bukan hanya menyasar masyarakat yang membutuhkan pinjaman dana dalam waktu cepat dan praktis. Fintech juga mencoba memudahkan masyarakat yang ingin melakukan investasi, jual-beli emas, hingga gadai barang.

Jumlah pelaku fintech pun terus bertambah. Sugeng mengatakan hingga Agustus 2017 sesuai data Asosiasi Fintech Indonesia, terdapat 184 perusahaan fintech dan pangsa pasar terbesar dipegang oleh fintech payment yang mencapai 42 persen atau 77 pelaku.

Dari sisi nominal transaksi fintech di Indonesia selama 2017 mencapai 18,65 miliar dolar AS. Sebagian besar berasal dari kategori fintech payment yang sebesar 18,61 miliar dolar AS. Transaksi tersebut diperkirakan meningkat ke depan menjadi 37 miliar dolar AS pada 2021.

"Peningkatan transaksi yang bergerak eksponensial tersebut akan membawa fintech berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi. Tentunya juga akan mengarah ke fintech syariah terutama di era sistem pembayaran digital," jelasnya dalam acara seminar nasional Growing Demand for Fintech in Islamic Finance and Its Challenges di perhelatan ISEF 2017.

Inovasi

Karenanya, regulator terus memberikan ruang untuk perusahaan fintech melakukan inovasi. Meski begitu, Bank Indonesia juga tetap mengantisipasi agar fintech yang berkembang cepat tidak memberikan dampak negatif bagi ketidakstabilan sistem keuangan termasuk risiko sistemik.

Menurutnya, peran pemerintah sangat besar dalam mendorong digital ekonomi di Indonesia. "Pemerintah menargetkan Indonesia menjadi negara ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada 2020. Valuasi bisnis ditargetkan mencapai 130 juta dolar AS dengan mendorong 1.000 perusahaan rintisan mengembangkan teknologi digital," ungkapnya.

Bank Indonesia juga berupaya untuk lebih dekat dengan laju inovasi dan industri fintech dengan mendirikan Bank Indonesia Financial Technology Office. Lembaga tersebut memiliki sejumlah fungsi di antaranya menjadi katalisator dan fasilitator bagi pertukaran ide inovatif pengembangan fintech serta memberikan informasi terbaru terkait fintech.

BI telah terbitkan Peraturan Bank Indonesia Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Ketentuan tersebut mengatur penyelenggaraan model bisnis fintech seperti penyedia layanan pembayaran lewat internet dan penyelenggara dompet elektronik.

Menurut Sugeng, Bank Indonesia menilai perkembangan fintech dan ekonomi digital akan berimplikasi terhadap stabilitas moneter, sistem keuangan, dan sistem pembayaran. Karenanya, dalam waktu dekat BI akan mengeluarkan ketentuan terkait pendaftaran penyelenggara fintech kepada Bank Indonesia. "Dengan mekanisme tersebut, BI akan memiliki data lengkap untuk memonitor perkembangan fintech, sehingga mampu dijaga dan memberikan implikasi positif terhadap perekonomian," imbuhnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement