REPUBLIKA.CO.ID, Dalam ajaran Islam, kedudukan laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah setara. Ini dikukuhkan secara syari dalam mayoritas umum urusan-urusan kehidupan. Tidak ada alasan apa pun yang menghalangi adanya distribusi beban sosial antara laki-laki dan perempuan untuk kemaslahatan publik bagi keluarga dan masyarakat.
Begitu pula halnya dalam kehidupan berumah tangga, kesetaraan laki-laki dan perempuan dapat diwujudkan dalam bentuk hubungan kemitraan antara suami dan istri. Hal ini seperti diungkapkan Allah SWT dalam Alquran, "Mereka (para istri) adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka...," (QS al-Baqarah [2]: 187). Menurut kitab Tafsir Jalalain, kata pakaian yang termaktub di dalam ayat ini menjadi kiasan bahwa suami dan istri saling bergantung dan saling membutuhkan.
Konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam Islam juga dapat ditemukan pada firman Allah SWT, "Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): SesungguhnyaAku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baiklaki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagianyang lain...." (QS Ali Imran [3]: 195).
Ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa Allah tidak membedakan perlakuan-Nya terhadap laki-laki dan perempuan. Keduanya sama-sama mendapat penilaian yang adil dari Allah berdasarkan amal yang mereka kerjakan selama di dunia.
Pada Pasal 57 Miitsaaq al-Usrah fii al-Islaam (Piagam Keluarga Islam) yang dikeluarkan oleh Komite Islam Internasional untuk Perempuan dan Anak (IICWC) disebutkan, ayat di atas sekaligus menerangkan kepada kita bahwa tidak ada persaingan atau kontradiksi antara suami dan istri. Keduanya saling terintegrasi, berkoordinasi, dan bekerja sama dalam menjalani bahtera rumah tangga.
Pada pasal yang sama juga dinyatakan, setiap bagian dari pasangan suami istri adalah pelengkap untuk bagian yang lainnya. Masing-masing menjadi penyempurna bagi pasangannya dalam mengemban misi kehidupan pernikahan dan sosialnya.
Menurut IICWC, hubungan kemitraan yang dibangun antara suami dan istri haruslah berdasarkan pada konsultasi dan kesepakatan bersama. Dengan kata lain, prinsip musyawarah menjadi sangat penting dalam membina keluarga yang Islami. Prinsip ini juga menjadi bagian dari menghormati akal pikiran dan pilihan-pilihan pribadi yang dimiliki suami maupun istri.
Allah SWT berfirman, "Apabila keduanya (suami dan istri) ingin menyapih (bayi mereka sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamukerjakan". (QS al-Baqarah [2]: 233).
Pada ayat ini, Allah mengambil kasus penyapihan bayi sebagai contoh penerapan musyawarah dalam rumah tangga. Di sini dijelaskan bahwa jika kedua orang tua hendak menyapih anaknya sebelum berumur dua tahun dan; keduanya melihat ada maslahat dengan keputusan tersebut, lalu keduanya bermusyawarah dan bersepakat, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Persoalan akan jadi berbeda jika penyapihan dilakukan atas kemauan dari salah satunya saja. Misalkan istri ingin menyapih, sedangkan suami tidak setuju. Begitu pula sebaliknya, suami ingin anaknya disapih, sedangkan istrinya tidak setuju. Tidak diperbolehkan salah satunya (baik suami maupun istri) melakukan pemaksaan tanpa adanya konsultasi dengan pasangannya, tulis IICWC.
Lebih jauh lagi, menurut ajaran Islam, konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan juga berlaku dalam urusan independensi aset keuangan. Artinya, seorang perempuan berhak memiliki aset keuangan lengkap seperti halnya laki-laki. Seorang perempuan juga berhak mempunyai semua jenis kekayaan berupa properti, real estate, harta-harta bergerak, dan uang tunai seperti halnya laki-laki.
Pada Pasal 58 Piagam Keluarga Islam yang dirumuskan IICWC disebutkan, perempuan punya hak untuk melakukan berbagai jenis transaksi sebagaimana yang ditetapkan oleh syariat atas apa yang dimilikinya. Ia dapat menjual, membeli, menukar, memberi hadiah, berwasiat, dan meminjamkan ataupun meminjam harta. Tindakan-tindakan transaksinya itu sah atasdasar keinginannya sendiri dan itu tidak tergantung atas persetujuan ayah, saudara laki-laki, ataupun suaminya.
Dalilnya adalah firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagiankamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki adabagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagiandari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian darikarunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (QS an-Nisa[4]: 32).
Dalam satu riwayat dikatakan, di zaman Rasulullah SAW pernah ada seorang budak bernama Baraerah. Para tuannya telah membebaskannya dari perbudakan dengan tebusan yang ia bayar secara mencicil. Baraerah lalu meminta bantuan kepada Aisyah RA untuk melunasi cicilan tersebut. Aisyah pun mengabulkannya. Namun, para tuan Baraerah mengajukan syarat agar loyalitas sang mantan budak tetap untuk mereka, bukan untuk Aisyah.
Kabar itu pun akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW dan beliau bersabda, Beli dan merdekakan (Baraerah)! Sesungguhnya loyalitas itu bagi yang membebaskannya, (HR Malik, Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, an-Nasai, dan ad-Darimidengan sanad sahih).
Hadis di atas adalah dalil yang eksplisit dan sahih yang membolehkan perempuan untuk melakukan transaksi keuangannya secara mandiri. Para pensyarah hadis memberikan komentar bahwa di sini perempuan yang sudah dewasa melangsungkan sendiri tindakan keuangannya dalam jual beli, meski sudah menikah. Ini juga menunjukkan diperbolehkannya perempuan yang sudah dewasa bertindak atas hartanya tanpa izin dari suaminya.