Oleh: Darmawan Sepriyosa*
Islam telah hadir ratusan tahun di negeri ini, tetapi mengapa keadilan dan sejahtera masih juga belum tercipta? Barangkali karena sebagaimana , Stanford Lyman, pernah berkata, kita mungkin terkontaminasi dan gemar melakukan 7 dosa maut (the seven deadly sins) dari modernisasi, antara lain, ketidakpedulian, angkara murka, sombong, iri hati, dan rakus tak kenal putus. Kita pun tak lagi sanggup membumikan Islam kita.
Padahal sejatinya, menurut Edward Mortimer, dalam buku klasik ‘Islam and Power’, secara keseluruhan Islam lebih menekankan dimensi sosial ketimbang ritual. Islam memandang dirinya sebagai alat untuk mengubah kondisi masyarakat menuju lebih baik. Dari kegelapan kepada cahaya, minal zulumati ila al-nur. Dan tiga kezaliman itu adalah kebodohan akan hukum Allah, pelanggaran, dan penindasan.
Islam meyakini, kemiskinan wujud hanya bila sistem sosial timpang, yang membuat warga jadi miskin akan solidaritas sosial. Alquran dalam QS Al Fajr:15-20 menyebutkan, kemiskinan dimungkinkan bila orang-orang tidak memuliakan anak yatim, tak ada usaha membela orang miskin, rakus menggunakan sumber alam, serta berlebihan mencintai harta.
Padahal, menurut seorang perawi, Dailami, Rasulullah bersabda,” Bila masyarakat sudah membenci orang-orang miskin, menonjol-nonjolkan kehidupan dunia serta rakus mengumpulkan harta, maka mereka akan ditimpa empat bencana: zaman yang berat, pemimpin yang lalim, penegak hukum yang khianat, dan musuh yang mengancam.”
“Al Islam minhaju taghyiri”-- Islam itu agama yang menghendaki perubahan, kata ideolog Fathi Yakan.
Sementara pemikir Fazlur Rahman mengatakan, misi Islam ke dunia itu membebaskan mustad’afin dan membuat perubahan. Bila hijrah Rasul dulu menandai perubahan itu, hijrah saat ini pun harus kita gunakan sebagai penanda kebangkitan dan kesadaran kita semua.
*Jurnalis senior