REPUBLIKA.CO.ID, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Barat mencatat musibah banjir dan longsor mendominasi bencana alam yang terjadi di wilayah ini. Sebanyak 35 persen kejadian bencana alam di wilayah ini, didominasi karena faktor hidrometeorologi seperti banjir.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Barat Dicky Saromi, beberapa waktu lalu, menyatakan, setiap musim hujan tiba, banjir biasanya menerjang kawasan Bandung Selatan atau Kabupaten Bandung seperti daerah Cienteung, Baleendah, Dayeuhkolot hingga Banjaran. "Bisa dipastikan masalah banjir menjadi salah satu tugas berat bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan selama ini Pemprov itu terus berupaya mengatasi persoalan banjir ini,"ujarnya Ahad (12/11).
Salah satunya adalah dengan Program Citarum Bestari atau Bersih, Sehat, Indah, dan Lestari (Bestari). Program ini menjadi fokus atau unggulan pengelolaan lingkungan hidup Pemprov Jawa Barat yang digulirkan sejak tahun 2014 dengan melibatkan seluruh pihak terkait.
Citarum Bestari ialah sebuah program yang kita lakukan untuk menyelesaikan Citarum yang sering kali kotor karena limbah industri dan limbah lainnya. "Melalui Program Citarum Bestari ini sudah ada hasilnya, Alhamdulillah sebagian sungai sudah bisa ditanami ikan, sampah fisiknya sangat berkurang dibandingkan sebelum ada program ini. Kita tahu sampah di sungai itu bisa menyebabkan banjir," kata Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang biasa disapa Aher.
Untuk lebih mengevektifkan dan mengoptimalkan Program Citarum Bestari, kata Aher, pihaknya juga melibatkan perusahaan terutama perusahaan atau pelaku industri yang ada di sekitar Sungai Citarum.
"Dari Pemprov Jabar sendiri kita ada kerja sama dengan pelaku industri, sesegera mungkin memperbaiki Instalasi Pengelolaan Limbah atau Ipal. Mendayagunakan Ipal. Ipalnya digunakan bukan hanya dibuat kemudian sebagian pelaku industri saat ini ternyata masih mem-bandel juga, law enforcement," kata dia.
Tak hanya program tersebut, dari sisi penegakan hukum, Pemprov Jawa Barat juga membentuk Satuan Manunggal Satu Atap (Samsat) untuk Citarum yang melibatkan sejumlah pihak terkait seperti Pemkab/Pemkot terkait, Kejaksaan Tinggi, Kepolisian, TNI, juga BBWS (unsur Pemerintah Pusat).
"Jadi Sungai Citarum ini mengaliri 420 ribu hektare sawah, yang menjadi sumber pangan masyarakat Jawa Barat termasuk Jakarta. 18 persen hasil pangan nasional berasal dari Jawa Barat dan 12 persen persawahan di antaranya diairi oleh Citarum. Juga listrik yang didayagunakan lewat air (Citarum) itu ada 2.500 megawatt listrik dengan PLTA terbesar di Indonesia," kata dia.
Program Citarum Bestari, lanjut Aher, juga melibatkan masyarakat desa di sekitar bantaran Sungai Citarum. Pelibatan masyarakat ini disebut Ecovillage atau desa berbudaya lingkungan.
Saat ini ada sekitar 277 desa terlibat dalam program ini, 190 desa di antaranya ada di Cekungan Bandung yang langsung berhubungan dengan Citarum. Selain itu, Ecovillage merekrut sebagian masyarakat desa (ecovillager) sebagai kader dan relawan Citarum. Mereka dilatih dan diberikan pemahaman tentang lingkungan yang wajib disebar luaskan pengetahuan dan pemahaman yang telah mereka miliki kepada masyarakat lain.
Terowongan Jurug Jompong
Selain Program Citarum Bestari, sebuah terobosan baru atau solusi jangka panjang untuk mengatasi banjir di Kabupaten Bandung juga digagas oleh Pemprov Jawa Barat, yakni dengan membangun Terowongan Jurug Jompong.
Gubernur Aher mengatakan saat ini Pusat Penelitian Air Kementerian PUPR sedang mendesain pembuatan terowongan Curug Jompong sebagai upaya jangka panjang mencegah banjir di Kawasan Bandung Selatan.
"Terkait Curug Jompong itu kan rencana awalnya akan dipangkas. Tapi karena itu heritage geologi maka Puslit Air merencanakan terowongan Curug Jompong, di mana terowongan dibangun di bawah curug," katanya.
Dengan adanya terowongan Curug Jompong maka memudahkan aliran air dari kawasan Dayeuhkolot, Banjaran dan Baleendah mengalir cepat ke Waduk Saguling. "Insya Allah mengurangi muka air dari kawasan Dayeuhkolot menuju Sapan, hingga ke Saguling," kata Aher.
Air di kawasan tersebut sulit mengalir ke arah Waduk Suguling karena daerah Dayeuhkolot lebih rendah dibandingkan Sapan dan Saguling. "Aliran deras dari Dayeuhkolot ke Sapan dan menuju Saguling jadi lambat," ujar dia.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk mengatasi banjir, seperti di kawasan Bandung Selatan. "Sebelumnya itu ada oxbow namun keberhasilannya hanya beberapa tahun. Kemudian 2011-2013 normalisasi Rp1,3 triliun untuk hulu hingga Jatiluhur Karawang. Selama tiga tahun cukup berpengaruh. Tahun keempat sedimentasi," katanya.
Selain itu, ada program normalisasi hutan, yang saat ini sedang dibicarakan pada kementrian, hutan ditanami pohon tegakan kemudian kopi. "Dan ini sudah mulai di Kertasari. Lebih untung daripada bawang, cengek (cabai rawit.red), cabai, tomat. Disamping untuk sebagai tanaman konservasi," kata Aher.
Upaya pemerintah dalam mengatasi banjir di kawasan Bandung Selatan tersebut bisa dibarengi kesadaran masyarakat dan budaya masyarakat untuk mencintai kebersihan.