Senin 13 Nov 2017 04:00 WIB
Pentingnya Memuliakan Ulama

Di Kalangan Ulama Ada Suu' dan Rasyad, Apakah Itu?

Rep: Mgrol97/ Red: Agus Yulianto
Ulama pndiri NU KH Hasyim Asy’ari.
Foto: NU
Ulama pndiri NU KH Hasyim Asy’ari.

REPUBLIKA.CO.ID, Manusia yang mengajak untuk berburuk sangak dan membenci kepada alim ulama serta berusaha menjauhkannya hingga menyebabkan kekacuan dalam masalah agama, maka orang yang berbuat demikian akan mendapat siksa yang keras.

Syekh Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi Rah.a dalam bukunya berjudul “Himpunan Fadhilah Amal” terdapat bab yang membahas pentingnya memuliakan ulama. Disebutkan bahwa menurut ajaran Islam berbuat jahat terhadap ulama sangatlah berbahaya. Memang, dalam setiap hal selalu ada yang baik dan ada yang buruk, seperti dua sisi mata uang. Begitu pula di kalangan alim ulama, ada yang suu’ (buruk) dan rasyad (diberi petunjuk). Insya Allah tentu saja ulama yang baik lebih banyak daripada yang buruk

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya sebagian dari mengagungkan Allah ialah: memuliakan tua muslim, memuliakan pembawa (hafizh) Alquran yang tidak melewati batas dan memuliakan pemimpin yang adil.” (HR. Abu Dawud – At Targhib)

Hadist lain berbunyi: “Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati orang tua, tidak menyayangi anak-anak, dan tidak memuliakan alim ulama.” (HR. Ahmad, Thabrani, Hakim – At-Targhib)  

Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam masalah ini. Pertama, jika seorang ulama belum dipastikan sebagai ulama suu’, janganlah sekali-kali membuat keputusan apa pun terhadapnya. Kedua, jika hanya karena berprasangkan buruk bahwa si pembicara adalah ulama suu’, janganlah sekali-kali membantah ucapannya begitu saja tanpa diselidiki terlebih dahulu. Karena sikap seperti itu merupakan kezhaliman.

Allah SWT berfirman:”Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, serta hati, semuanya akan ditanya.” (QS. Al-Israa:36)

Pernah orang Yahudi menerjemahkan Taurat ke dalam  bahasa Arab, lalu membacakannya kepada orang Islam. Nabi SAW bersikap sangat hati-hati, dan terhadap hal itu beliau bersabda, “ Wahai kaum muslimin, janganlah kamu membenarkan kata-katanya dan jangan pula menolaknya. Katakanlah, ‘Kami beriman kepada apa yang diturunkan oleh Allah.”

Maksudnya, meskipun itu ucapan orang kafir, janganlah kita membenarkan atau menyalahkannya begitu saja sebelum kita mengetahuinya dengan pasti. Namun yang terjadi sekarang adalah sebaliknya.

Dari Abu Umamah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga jenis manusia yang tidak merendahkan mereka kecuali orang munfik, yaitu orang muslim yang tua, ulama, dan pemimpin yang adil.” (HR. Thabrani – At-Targhib).

Diriwayatkan Thabrani – At-Targhib, Rasulullah SAW mengatakan, bahwa beliau tidak mengkhawatirkan umatnya kecuali tiga hal, yakni; pertama, keduniaan berlimpah sehingga manusia saling mendengki.

Kedua, orang jahil berusaha menafsirkan Alquran dan mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah SWT. “Dan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, kami beriman kepada ayat-ayat Mutasyaabihaat, semuanya dari sisi Rabb kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) kecuali orang-orang yang berakal.” Apabila alim ulama dalam ilmunya saja tidak berani melangkah jauh, adakah hak bagi orang-orang awam untuk berkomentar?

Yang ketiga, alim ulama ditelantarkan dan tidak akan dipedulikan oleh umatku. Dewasa ini, berbagai ucapan buruk telah dilontarkan kepada alim ulama. Dalam kitab Fatwa Alamghiri disebutkan bahwa kebanyakan ucapan buruk yang diucapkan mereka itu menyebabkan terkena hukum kufur, namun banyak yang  mengabaikan hal ini.

Harus diingat  bahwa ulama Haqqani (Haq), ulama Rusydi (yang benar), dan ulama Khairi (yang baik) adalah manusia juga. Yang mas’um hanyalah para Anbiya. Oleh sebab itu, jika ada kesalahan, kelemahan, dan kekurangan pada diri mereka, tanggungjawannya kembali pada diri mereka sendiri. Hanya Allah yang berhak menentukan apakah azab atau ampunan bagi mereka.

Dalam keadaan demikian seorang musim di seluruh dunia wajib mewujudkan masyarakat Islam yang dapat melahirkan alim ulama yang hakiki. Keberadaan alim ulama di tengah-tengah kita hukumnya fardhu kifayah.

Apabila suatu jamaah sudah mewujudkan hal ini, maka tuntutan hukum fardhu gugur dari semuanya dan jika kita lalaikan usaha mewujudkan ulama yang hakiki ini, maka kita semua berdosa. Wallahualam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement