REPUBLIKA.CO.ID, Abu Dzar Al-Ghifari ra menyatakan keislamannya ketika hanya segilintir orang yang memeluk Islam, itu pun mereka menyembunyikannya dari orang-orang Kafir. Tetapi tidak dengan Abu Dzar, begitu lantangnya ia berseru kalimat tauhid di Masjidil Haram dan dipersaksikan orang-orang kafir. Hampir tiba ajalnya ketika orang-orang kafir menyerangnya karena geram mendengar ucapannya, namun paman Nabi SAW yang bernama Abbas ra menyelamatkannya.
Dikisahkan dari buku “Himpunan Fadhilah Amal” karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi Rah.a, ketika pertama kali mendengar kabar kenabian Muhammad SAW, Abu Dzar mengirim saudaranya ke Makkah untuk memastikan berita itu. Ia berkata kepada saudaranya, “Apabila ada orang yang mengaku, ‘Telah datang wahyu kepadaku dari langit,’ maka selidikilah ia dan dengarkan dengan baik kata-katanya.”
Saudaranya pun pergi ke Makkah. Dan setelah menyelidiki di sana, ia pun kembali dan melaporkan, “Aku melihat, ia memerintahkan agar melaksanakan kebiasaan baik dan berakhlak mulia. Dan aku mendengar ucapannya yang sangat indah, namun bukan ucapan syair atau ucapan ahli sihir.”
Abu dzar ra tidak puas mendengar berita saudaranya itu, sehingga ia memutuskan untuk pergi sendiri ke Makkah. Setibanya di sana, ia langsung menuju Masjidil Haram. Pada saat itu ia belum mengenal wajah Nabi SAW dan ia menduga tidak aman baginya, jika menanyakan tentang Nabi SAW kepada orang-orangk maka hingga petang ia masih menyeledikinya.
Saat itu Ali ra melihatnya, sehingga ia mengajak Abu Dzar ke rumahnya dan melayaninya. Pada masa itu, sudah menjadi kebiasaan para sahabat untuk memperhatikan para musafir, orang-orang miskin, orang-orang asing, dan memenuhi hajat mereka. Ali ra merasa belum perlu bertanya mengenai siapa dan apa maksud kedatangannya. Musafir tersbut pun tidak pula mengemukakan tujuannya kepada tuan rumah.
Pada pagi harinya, ia kembali ke masjid dan menyelidiki lagi tanpa mengetahui apa pun dan tidak bertanya kepada siapa pun. Hal ini disebabkan berita permusuhan terhadap Nabi SAW telah tersebar luas. Siapa saja yang berani menemui beliau akan diganggu oleh orang-orang kafir.
Pada hari kedua disore hari, Ali ra berpikir bahwa musafir yang terlantar ini pasti ada tujuannya datang kemari, namun belum terpenuhi. Maka, Ali ra mengajak kembali tamunya menginap di rumahnya. Malam telah berlalu, namun Ali ra tak,juga menanyai tujuannya. Akhirnya, di hari ketiga Ali ra memberanikan bertanya, “Apakah tujuanmu datang kemari?”
Setelah meminta Ali ra bersumpah dan berjanji akan menjawab jujur setiap pertanyaannya, barulah Abu Dzar mengutarakan maksudnya. Ali ra berkata, “Sungguh, beliau adalah utusan Allah. Jika esok pagi aku pergi, ikutilah aku. Aku akan mengantarmu kepada Beliau. Namun, jika para penentang mengetahui hubungan kita, agar tidak dicurigai aku akan pura-pura buang air atau memperbaiki sepatu. Maka, hendaknya engkau terus berjalan, jangan menungguku agar perjalanan kita tidak diketahui orang. Sungguh jumlah mereka sangatlah banyak.”
Keesokan paginya Ali ra dan Abu Dzar ra tiba di rumah Rasulullah SAW dengan sembunyi-sembunyi. Mereka berbincang-bincang dengan Beliau. Dan pada saat itulah Abu Dzar masuk Islam. Selanjutnya, karena Rasulullah SAW sangat mencemaskan keselamatan Abu Dzar, maka beliau melarangnya menunjukkan keislamannya di muka umum.
Beliau berkata, “Pulanglah ke kaummu dengan sembunyi-sembunyi, dan kamu boleh kembali ke sini jika kami telah menang.” Namun Abu Dzar menjawab, “Ya Rasulullah, demi Dzat Yang nyawaku ada di tangan-Nya, aku akan mengucapkan kalimat tauhid ini di hadapan orang-orang yang tidak beriman itu.”
Lalu ia segera pergi ke Masjidil Haram dan dengan suara lantang ia berteriak, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Begitu selesai mengucapkan kalimat tauhid, orang-orang menyerangnya dari segala arah. Tubuhnya terluka hebat, bahkan ia hampir menemui ajalnya.
Untunglah paman Nabi SAW, Abbas ra yang ketika itu belum masuk Islam melindungi Abu Dzar dengan tubuhnya sembari berteriak, “Kalian sungguh zhalim, orang ini orang Ghifar. Kabilah ini tinggal di antara jalan menuju Syam. Perniagaan kalian dan segala urusannya adalah dengan negeri syam. Jika ia mati, jalan lalu lintas ke Syam akan tertutup bagi kita.”
Ucapan itu menyadarkan orang-orang yang memukulinya. Memang benar bahwa semua keperluan mereka datang dari Syam. Jika jalur itu tertutup, itu adalah bencana bagi mereka. Akhirnya, mereka meninggalkan Abu Dzar ra.
Pada hari kedua, Abu Dzar ra mengulangi perbuatan yang sama. Ia pergi ke Masjidil Haram dan meneriakkan kalimat tauhid di hadapan orang banyak. Orang-orang yang membenci ucapan itu pun kembali memukulinya. Dan pada hari itu, Abbas ra kembali yang menyelamatkannya.
Di kemudian hari, Abu Dzar termasuk golongan ahli zuhud dan ulama besar pada zamannya. Ali ra berkata, “Abu Dzar memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain, namun ia menyimpannya.”
Abu Dzar memilih untuk menyatakan keislamannya secara terang-terangan karena ia tahu dalam menyebarkan Islam, Nabi SAW telah banyak menderita. Maka, ia ingin merasakan penderitaan yang Nabi SAW alami. Tiada kekuatan sebesar apa pun yang dapat menghentikan semangat para sahabat sekalipun mereka dizhalimi orang-orang kafir.