REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta agar Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) memenuhi panggilan perdana untuk diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) pada Rabu (14/11) besok. KPK telah mengirimkan surat panggilan untuk Setnov sejak pekan lalu.
"Saya kira ini seharusnya menjadi bentuk kepatuhan kita terhadap hukum. Kalau kemudian dipanggil oleh penegak hukum sebaiknya datang," kata juru bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (14/11).
Menurut Febri, kehadiran Novanto seharusnya sebagai tempat Ketum Partai Golkar itu klarifikasi lantaran banyaknya fakta-fakta baru yang sudah muncul di persidangan Andi Agustinus alias Andi Narogong yang semakin menguatkan konstruksi hukum kasus KTP-el. "Sebenarnya ini harus dilihat juga sebagai kesempatan atau ruang untuk memberikan klarifikasi lebih lanjut," ujarnya.
Febri melanjutkan, adapun terkait mangkirnya Novanto dalam tiga kali pemeriksaan saksi untuk tersangka Anang Sugiana Sudiharja yang menggunakan alasan hak imunitas dan perlu adanya izin Presiden Joko Widodo tak beralasan berdasarkan hukum. "Kita baca secara lebih lengkap UU MD3 tersebut, ada penegesan pengecualian izin tertulis presiden itu jika disangkakan melanggar tindak pidana khusus. Artinya klausul itu tidak bisa digunakan lagi," jelasnya.
Ihwal penahanan untuk Novanto, lanjut Febri, KPK belum mau memberi komentar. KPK, sambung Febri, juga belum berencana menjemput paksa Novanto. "Kita belum bicara tentang penahanan juga. Karena agendanya pemanggilan dan pemeriksaan sebagai tersangka," ucapnya.
Pada Jumat (10/11) KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. Penetapan tersangka terhadap Ketum Golkar tersebut pun sudah melalui beberapa tahapan setelah KPK mempelajari putusan praperadilan dari Hakim Tunggal Ceppy Iskandar.
KPK menduga Novanto pada saat proyek KTP-el bergulir Novanto yang menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama dengan Direktur PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharja, pengusaha Andi Agustinus dan dua pejabat Kemendagri Irman, dan Sugiaharto, menguntungkan diri sendri atau korporasi atau orang lain dengan menyalahgunakan jabatan atau kewenangan dan kedudukan yang mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Atas perbuatannya, Novanto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.