REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR RI sekaligus Ketua OC Konsolidasi Nasional III Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI) Ammy Amalia Fatma Surya mengatakan, keterwakilan perempuan di parlemen hasil pemilu era reformasi menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan. Tetapi, pada pemilu 2014 mengalami penurunan, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Pada periode 2009-2014, Ammy memaparkan, keterwakilan perempuan di tingkat pusat mencapai 18 persen. Kemudian pada 2012 terbit UU Pemilu yang mengatur penempatan calon anggota legislatif harus memenuhi kuota 30 persen perempuan.
"Langkah afirmatif dari penyusunan undang-undang itu sudah menunjukkan adanya pemaksaan dari undang-undang terhadap partai politik peserta pemilu untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen," kata Ammy Amalia di Gedung DPR RI Jakarta, Rabu (15/11).
Namun, kenyataannya pada 2014 keterwakilan perempuan di tingkat pusat justru menurun dari 18 persen menjadi 17 persen. Penurunan ini bukan tanpa sebab. Dikatakan Ammy, masih ada beberapa tantangan meningkatkan representasi politik perempuan yakni tantangan kebijakan, kebijakan partai politik, serta problem kapasitas dan kepercayaan diri perempuan.
Menurut Ammy, elit partai politik sebagai penentu kebijakan internal masih sedikit yang menempatkan perempuan di posisi strategis. Berbagai kebijakan parpol seringkali luput mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan perempuan. Imbasnya, partai politik sering kerepotan memenuhi ketentuan minimal 30 persen calon perempuan dalam pemilu.
Anggota Komisi VIII dari Fraksi PAN ini menambahkan degradasi lain yang dihadapi adalah penghapusan unsur perempuan dalam pimpinan DPR RI pada UU MD3. Dimana, pada periode 2009-2014 sudah diwajibkan bahwa dari empat pimpinan harus ada satu pimpinan perempuan. Aturan ini dihapus di periode sekarang.
Dalam perjalanannya, Ammy menjelaskan, kebijakan-kebijakan ini ternyata cukup mempengaruhi perjuangan perempuan untuk menyediakan undang-undang yang berspektif gender. Salah satunya adalah UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Menurut dia, untuk mendukung undang-undang yang berperspektif gender ini memerlukan jumlah keterwakilan perempuan yang lebih banyak lagi di parlemen.
"Kami sangat meyakini bahwa semakin banyak keterlibatan perempuan di dalam politik juga menjadi salah satu upaya dalam rangka meningkatkan representasi perempuan di parlemen, menyediakan legislasi yang berperspektif gender," kata Ammy menegaskan.
KPP RI akan menyelenggarakan Konsolidasi Nasional III dengan tema "Meningkatkan Representasi Politik Perempuan di Parlemen pada Pemilu 2019" pada 16-17 November 2017. Konsolidasi nasional ini akan diikuti oleh anggota DPR RI, DPRD Provinsi, serta DPRD kota/kabupaten di seluruh Indonesia.
Acara yang bertempat di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta Pusat ini akan diikuti kurang lebih 800 anggota legislatif perempuan dari seluruh Indonesia. Jumlah ini dinilai cukup representatif mengingat anggota legislatif perempuan di seluruh Indonesia saat ini di angka 2.770 orang.
Anggota DPD RI dari Sulawesi Tenggara sekaligus Ketua OC Konsolidasi Nasional III, Wa Ode Hamsinah Bolu menjelaskan, konsolidasi ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan dalam menghadapi pemilu 2019. Diharapkan, anggota legislatif perempuan memiliki pengayaan wawasan untuk menghadapi Pemilu 2019 sehingga dapat terpilih kembali.
Selama dua hari, para anggota legislatif perempuan akan merumuskan strategi bersama untuk meningkatkan representasi perempuan pada pemilu legislatif 2019. Menteri PPPA Yohana Yembise, Ketua KPU Arief Budiman, dan beberapa tokoh lain dijadwalkan hadir. "Ini adalah pembekalan para anggota legislatif perempuan untuk menghadapi pemilu 2019," ujarnya.