REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesian Islamic Travel Communication Forum (IITCF) menilai pemerintah Indonesia masih belum siap sepenuhnya dalam mengembangkan paket wisata muslim dalam negeri. Khususnya fasilitas- fasilitas yang dibutuhkan bagi para wisatawan muslim mancanegara.
Chairman IITCF Priyadi Abadi menyebutkan, ada banyak pekerjaan rumah bagi pelaku pariwisata dalam mengembangkan wisata halal. Misalnya mushola hotel dan restoran bersertifikasi halal. Namun menurutnya banyak sekali mushola yang tidak representatif.
"Kita mau mengembangkan wisata muslim tapi musholanya tidak memadai. Jarang hotel bintang 4 dan 5, musholanya nyaman. Letaknya di basement, panas, dan pengap," ungkap Priyadi kepada Republika, Rabu (15/11).
Ia menuturkan pengalamannya saat melakukan rapat di meeting room sebuah hotel mewah di ibukota. Karena tidak nyamannya mushola yang tersedia, pihaknya pun harus menggunakan meeting room tersebut sebagai tempat sholat.
Selain di hotel, pusat perbelanjaan juga belum banyak memiliki mushola yang nyaman. Hanya beberapa pusat perbelanjaan yang memiliki mushola bersih dan nyaman, seperti Mal Kota Kasablanka.
"Artinya, islam dan wisata halal belum menjadi industri bagi pengelola hotel dan pusat perbelanjaan. Padahal halal lifestyle sudah menjadi kebutuhan dan industri yang harus ditangkap potensinya," tutur Priyadi.
Sementara itu, restoran bersertifikasi halal masih sedikit di Indonesia. Meskipun Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim, kata Priyadi, yang terpenting bagi wisatawan asing adalah label sertifikasi halal untuk menjamin makanan restoran tersebut.
"Mereka beranggapan restoran Padang itu sudah pasti halal. Padahal untuk orang luar negeri mereka melihat sertifikat halalnya," jelasnya.
Hal- hal inilah yang menurutnya perlu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah serta praktisi wisata halal. Para praktisi wisata halal harus memahami karakter- karakter dari para wisatawan mancanegara yang akan berkunjung ke Indonesia serta bagaimana kesiapan fasilitasnya.