REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON -- Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kerap terjadi di Tepi Barat, Palestina. Tak hanya orang dewasa, penerobosan HAM juga menimpa anak-anak dikawasan yang dijaga militer Israel tersebut.
Seperti Mohammed yang menjadi korban pelanggaran HAM. Bocah 14 tahun itu ditangkap tentara Israel usai menyaksikan kekerasan terhadap warga Palestina yang terjadi di sebuah taman di Kota Tua Yerusalem yang terletak di kawasan Yerusalem Timur.
Mohammed diamankan dengan tangan terborgol dan kemudian dibawa ke ruang interogasi. Dia dicecar sejumlah pertanyaan tanpa didampingi orang tua atau pengacara.
"Dia menghabiskan malam dipenjara dan hendak disidang keesokan harinya. Dia lantas dipenjara lagi selama dua pekan, dan selama itu pula persidangannya ditunda hingga empat atau lima kali," kata ibu Mohammed, Salwa seperti dikutip Aljazeera, Rabu (15/11).
Sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi lantas mengilhami seorang anggota kongres Amerika Serikat untuk membuat undang-undang tertentu. Tujuannya untuk melindungi HAM anak-anak di Palestina mulai dari Tepi Barat hingga Yerusalem timur.
Regulasi tersebut diajukan oleh anggota kongres AS asal Minnesota, Betty McCollum. Konstitusi yang diusung politisi partai Demokrat itu kini telah mendulang sembilan dukungan.
Rancangan Undang-Undang (RUU) itu akan memangkas atau menghalangi kucuran dana AS untuk memfasilitasi pelanggaran HAM yang berdampak pada anak-anak. Regulasi tersebut berusaha memastikan bantuan dana yang digelontorkan AS terhadap Israel tidak berkontribusi negatif pada anak-anak di Tepi Barat.
Lebih spesifik, RUU berusaha meyakinkan dana tidak digunakan dalam praktik ilegal yang menyalahi hukum internasional seperti merusak indra seseorang, ancaman pembunuhan, penyiksaan, kekerasan fisik, isolasi, pelarangan bertemu keluarga, penjara tanpa tuduhan hingga pengadilan.
"Tujuan dari UU ini adalah mempromosikan serta melindungi HAM anak-anak Palestina dan memastikan dana pembayar pajak di AS tidak digunakan untuk mendukung penahanan militer terhadap anak-anak Palestina," bunyi RUU tersebut.
Meski demikian, untuk menjadi UU sepenuhnya RUU tersebut harus melewati proses panjang. RUU tersebut harus melewati Dewan Perwakilan Rakyat sebelum diperkenalkan dan disahkan di Senat.
Walaupun terbilang sulit, para pendukung RUU tersebut menilai itu merupakan sebuah perkembangan positif. Mereka berpendapat, hal itu merupakan upaya untuk mengubah opini publik mengenai Israel dan Palestina.
Sejauh ini, RUU tersebut didukung oleh sejumlah organisasi HAM semisal Defense for Children International-Palestine (DCIP) yang berbasis di Tepi Barat, American Friends Service Committee (AFSC) sebuah badan amal hingga Amnesti Internasional.
Direktur Program AFSC Palestine-Israel Jennifer Bing menilai pengajuan RUU itu merupakan langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dia mengatakan, RUU yang diperkenalkan oleh 10 anggota kongres itu muncul setelah adanya basis dukungan yang muncul diseantero AS.
Mereka khawatir uang pajak yang sudah dibayarkan dimanfaatkan untuk menangkap anak-anak dimana penahanan itu melanggar hukum internasional.
"Tidak ada anak-anak yang harus menjalani penggerebekan malam hari, isolasi, interogasi tanpa perwakilan hukum atau kekerasan fisik dan mental yang secara rutin dilakukan tentara Israel di Tepi Barat," kata Bing.
Dia mendesak pemerintah AS untuk memprioritaskan hak anak sebelum mengucurkan dana bantuan dan militer ke negara-negara lain. Bing mengungkapkan, pelecehan terhadap anak-anak di Palestina oleh pengadilan militer Israel terdokumentasi dengan baik.
"Namun kesadaran dan tindakan di AS terfokus pada penghentian sistem yang tidak adil dan tidak setara ini hingga hal tersebut menghilang," kata Jennifer Bing.
Petugas Advokasi dan Pengacara Internasional DCIP Brad Parker mengatakan, RUU tersebut tiak hanya meningkatkan kesadaran akan pelanggaran berat terhadap anak-anak Palestina yang ditahan oleh pasukan Israel. Hal itu juga merupakan tantangan langsung terhadap kekebalan sistemik yang dinikmati oleh pasukan Israel di wilayah Palestina.
Dia mengatakan, pemerintah AS mengucurkan dana lebih dari 3 miliar dolar dalam bentuk bantuan militer kepada Israel setiap tahun. Dia melanjutkan, warga Palestina memasuki tahun ke-50 tinggal di bawah penindasan militer Israel dimana pelanggaran HAM secara sistematis menjadi norma.
"Pelarangan dukungan keuangan AS ini menyesuaikan kebijakan AS terhadap Israel dengan hukum internasional serta mengirim pesan berbasis hak yang jelas kepada otoritas Israel bahwa perlakuan buruk terhadap tahanan anak Palestina harus diakhiri," katanya.