REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara meminta Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dapat menyelamatkan orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis} di kawasan konservasi Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan dari ancaman kepunahan. Populasi orangutan Tapanuli diperkirakan hanya tersisa 800 ekor saja.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut Dana Tarigan mengatakan, bahwa penyelamatan satwa langka itu, memang bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga warga sekitar. Sehubungan dengan itu, menurut dia, masyarakat harus tetap mengawasi ekstra ketat perburuan orangutan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan mencari keuntungan dari satwa yang dilindungi.
"Perbuatan warga yang tidak mendukung pelestarian orangutan Tapanuli itu, harus diantisipasi dan bila perlu menangkap pelaku perburuan liar tersebut dan menyerahkan ke pihak kepolisian," ujar Dana, Kamis (16/11).
Dana menyebutkan, perlindungan orangutan tersebut perlu dilakukan untuk menyelamatkan satwa langka itu, agar popolusinya tidak berkurag dan dikhawatirkan akan habis begitu saja, tanpa adanya pengawasan dari pemerintah. Apalagi, jelasnya, berdasarkan hasil penelitian tahun 2016, jumlah orangutan yang terdapat di kawasan ekosistem Batang Toru itu, hanya tinggal 800 ekor atau individu.
"Ini harus diselamatkan, dan demi menjaga kelangsungan hidup orangutan Tapanuli yang berada di Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) Provinsi Sumatera Utara (Sumut)," katanya.
Dana menjelaskan, kehadiran orangutan Tapanuli yang berada di kawasan hutan lindung Batang Toru itu, merupakan suatu kebanggaan yang luar biasa bagi Provinsi Sumut, karena satwa langka tersebut, species baru yang terdapat di Indonesia.
Orangutan Tapanuli tersebut, harus tetap dipertahankan dan jangan sampai mengalami kepunahan, akibat perburuan yang dilakukan orang-orang yang tidak mendukung penyelamatan satwa langka itu. Orangutan Tapanuli dinobatkan sebagai spesies orangutan ketiga, setelah Pongo pygmaeus (Orangutan Kalimantan) dan Pongo abelii (Orangutan Sumatera).
"Kehadiran orangutan Tapanuli tersebut, secara resmi juga dipublikasikan dalam jurnal internasional Current Biology pada tanggal 3 November 2017, hal tersebut merupakan kebanggaan bagi Indonesia umumnya dan Sumatera Utara khususnya," kata Pemerhati Lingkungan itu.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Wiratno menyampaikan bahwa penemuan orangutan Tapanuli merupakan temuan terbesar abad ini.
Menurutnya, pengukuhan spesies baru itu ditandai dengan perbedaan genetik yang sangat besar diantara ketiga jenis orangutan, melebihi perbedaan genetik antara gorila dataran tinggi dan rendah, maupun antara simpanse dan bonobo di Afrika, sebagaimana disampaikan salah seorang peneliti IPB, Puji Rianti.
"Perbedaan lainnya dari segi morfologi, yaitu ukuran tengkorak dan tulang rahang lebih kecil dibandingkan dengan kedua spesies lainnya, serta rambut di seluruh tubuh Orangutan Tapanuli yang lebih tebal dan keriting¿, jelasnya.
Berdasarkan hasil penelitian tahun 2016, tidak lebih dari 800 individu Orangutan Tapanuli hidup pada tiga populasi terfragmentasi di Ekosistem Batang Toru. Hal ini disebabkan tekanan akibat konversi hutan dan perkembangan lainnya.
Saat ini kawasan hutan seluas 150.000 Hekatere tersebut merupakan habitat terakhir bagi Orangutan Tapanuli dengan jumlah individu terpadat, yaitu kurang dari 110.000 Hektare.