REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan Setya Novanto (Setnov) sebagai pejabat publik apalagi Ketua DPR RI seharusnya Setnov dapat memberikan teladan yang baik. Namun yang dilakukan oleh Ketua Umum Golkar ini justru selalu menghindar dan jauh dari kata taat terhadap hukum.
"Sebagai pejabat publik seharusnya (Setnov) taat pada hukum, ia tidak realistis," ujar Fickar kepada Republika, Kamis (16/11).
Fickar menilai apa yang dilakukan Setnov ini lantaran ketergantungan dan kebiasaannya terhadap apa-apa yang dimiliki. Baik memanfaatkan uang, SDM, maupun koneksinya. "Sangat mungkin sikapnya itu didasari oleh kebiasaannya menggunakan sumber daya yang ia miliki sehingga selalu lolos dari jeratan hukum," ujar Fickar.
Oleh karena itu sambung Fickar, setelah Setnov selalu mangkir dari pemeriksaan KPK hingga berujung pada kaburnya Setnov saat upaya jemput paksa membuat Ketua Umum Partai Golkar ini harus menyandera dirinya sendiri. Setnov kabur dan belum diketahui keberadaannya sejak Rabu (15/11) malam
"(Kabur) itu konsekuensi ia (Setnov) menyandera dirinya sendiri. Dan mengelak dari kewajban hukum, SN sama dengan mengingkari dirinya sebagai WNI," ujar Fickar.
Pada Jumat (10/11) KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. KPK menduga Novanto pada saat proyek KTP-el bergulir Novanto yang menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama dengan Direktur PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharja, pengusaha Andi Agustinus dan dua pejabat Kemendagri Irman, dan Sugiaharto, menguntungkan diri sendri atau korporasi atau orang lain dengan menyalahgunakan jabatan atau kewenangan dan kedudukan yang mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Menurut penasihat hukum Novanto, Fredrich Yunadi, kliennya memiliki hak untuk mangkir lantaran KPK juga bersikap sama ketika dipanggil oleh Pansus Angket DPR. Fredrich mengakui, selain alasan izin Presiden dan hak imunitas anggota DPR, uji materi UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK) juga menjadi dasar Novanto tidak memenuhi panggilan KPK.
Fredrich meniru langkah KPK yang tidak memenuhi panggilan Pansus Angket DPR dengan alasan tengah menggugat UU MD3 ke MK.