REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muhasibi adalah sufi dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu seperti hadis dan fikih. Nama lengkapnya, Abu Abdillah al-Haris bin Asad al Basri al Bagdadi al Muhasibi. Tokoh ini lebih dikenal dengan nama Muhasibi di kalangan para pengikutnya serta di kalangan ulama yang hidup sesudahnya. Sebutan Al Basri disandangkan kepadanya karena ia lahir di Basra.
Sedangkan sebutan al Bagdadi disandangkan kepadanya karena ia meninggal di Bagdad. Ia merupakan seorang yang senantiasa menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa. Ia juga seringkali mengintrospeksi diri menurut amal yang dilakukannya. Muhasibi adalah seorang penulis yang meninggalkan beberapa karya tulis dan kitab, termasuk kitab mengenai dasar-dasar keagamaan dan kezuhudan.
Muhasibi merupakan tokoh tarekat besar yang mempunyai banyak murid. Para muridnya menghormati dan memuliakannya karena keluasa ilmu dan kelurusan tarekatnya. Tarekatnya dinamakan Tarekat Muhasibiah. Dalam bidang hadis, ia merupakan salah seorang perawi hadis terkenal. Ia menerima hadis dari para ulama hadis seperti Yazid bin Harun (wafat 203 H) dan kemudian meriwayatkannya kepada para perawi lain seperti Ahmad al Hasan bin Abdul Jabbar as-Sufi (wafat 250 H), Ahmad al Qasim bin Nasr a Faraidi dan Abu al Qasim al Junaid bin Muhammad as-Sufi.
Suatu ketika Muhasibi ditanya tentang beberapa hal yang berkaitan dengan soal muhasabah (mengintrospeksi/ menghisab diri sendiri). ''Dengan apa jiwa itu dihisab?;; Ia menjawab, ''Jiwa itu dihisab dengan akal.'' Ia ditanya lagi, ''Dari mana datangnya hisab itu?'' Ia menjawab, ''Hisab itu datang dari adanya rasa takut akan kekurangan, hal-hal yang merugikan dan adanya keinginan untuk menambah keuntungan.''
Muhasabah dalam pandangan Muhasibi, mewariskan nilai-nilai tambah dalam berpikir (basrah), kecerdikan dan mendidik untuk mengambil keputusan yang lebih cepat, memperluas pengetahuan dan semua itu didasarkan atas kemampuan hati untuk mengontrolnya. Ketika ditanya, ''Dari mana sumber keterlambatan akal dan hati untuk menghisab jiwa?'' Ia menjawab, ''Keterlambatan itu disebabkan oleh karena hati. Dalam keadaan demikian hati sangat didominasi oleh kekuatan hawa nafsu dan syahwat yang kemudian menguasai akal, ilmu dan argumen. Ketika ditanya, ''Dari mana kebenaran datang?'' Ia menjawab,
''Kebenaran itu datang karena pengetahuan kita bahwa Allah SWT Maha Mendengar dan Maha Melihat. Pengetahuan itu merupakan dasar bagi kebenaran dan kebenaran merupakan dasar segala perbuatan baik. Karena kemampuan dan kekuatan kebenaran itulah, seorang hamba dapat meningkatkan segala perbuatan baik dan kebajikannya.''
Ketika ditanya tentang pengertian syukur, Muhasibi menjawab, ''Syukur itu ialah adanya kesadaran seseorang bahwa nikmat itu datang dari Allah SWT. Tidak akan ada nikmat yang diberikan kepada semua makhluk di langit dan di bumi ini, kalau Allah SWT tidak memberinya.''
disarikan dari buku Ensiklopedi Islam terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta