REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid Sa'adi menanggapi hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan kepada 1.540 responden di 34 provinsi pada 16-22 Agustus 2017. Survei itu secara garis besar menyimpulkan tingginya tingkat religiusitas warga tidak berdampak signifikan terhadap praktik korupsi dalam kehidupan sehari-hari.
"Penelitian tersebut bisa menyesatkan, karena pertama, metode penelitian yang digunakan dengan pendekatan kuantitatif dan hal itu tidak bisa menggambarkan secara detail dan obyektif," kata Zainut kepada Republika.co.id, melalui keterangan tertulis, Kamis (16/11).
Padahal, kata dia, religiusitas mempunyai beragam dimensi yang tidak bisa dilakukan oleh metode penelitian tersebut. Hanya ranah rasionalitas saja. Sedang agama menyangkut juga aspek hati atau rohani. Sehingga, ukuran religiusitas seseorang tidak bisa diukur hanya berdasarkan menjawab kuesioner. Berdasarkan pada anggapan-anggapan (asumsi) karena asumsi seringkali tidak sesuai dengan realitas yang terjadi atau menyimpang jauh dari kenyataan.
"Jadi bisa menyesatkan kesimpulannya," ujarnya.
Zainut melanjutkan, hasil penelitian tersebut secara simplistis menggambarkan, tingkat religiusitas itu tidak dibarengi dengan tingkat keilmuan dan keimanan seseorang terhadap ajaran agama. Mereka yang dalam perilaku sehari-hari saleh, namun jika pondasi keilmuan dan keimanan kurang kuat akan mudah goyah oleh keadaan dan sistem yang bobrok.
Dikatakan dia, perilaku korupsi di Indonesia sudah menggurita dan tersistem dengan masif. Sehingga orang melakukan praktik korupsi lebih cenderung karena terpaksa oleh sistem koruptif yang ada tanpa ada pilihan lain. "Dalam bahasa agama, keilmuan seseorang ada yang hanya sampai pikiran, ada yang sampai masuk ke dalam hati," ujarnya.
Zainut menjelaskan, tingkat keilmuan yang hanya ada di pikiran (aspek kognitif) saja hanya akan berhenti pada tataran pengetahuan saja. Tanpa ada aspek pengamalan di dalamnya. Sedangkan keilmuan seseorang yang bisa sampai ke hati, akan terbentuk dalam sebuah karakter dan menjadi amaliah yang akan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, kata dia, dalam meneliti sikap dan perilaku seseorang dari segi agama tidak sesederhana metode survei yang dilakukan. Beragam aspek dan situasi yang melingkupinya perlu dijadikan pertimbangan dalam menyimpulkan sebuah fenomena yang terjadi.
"Jadi, tidak pada tempatnya kalau agama dijadikan alasan utama seseorang melakukan perilaku koruptif, seperti gratifikasi dan tindak pidana lainnya," ujarnya.